Suara ketukan pintu memecah lamunanku. Seseorang memberi salam dan segera aku membukakan pintu. Rupanya tamu itu adalah kawanku, Ade.
Ia ingin mengajakku ke suatu tempat. Aku mengutarakan kesibukanku. Namun, karena ia kukuh memaksa terpaksa aku ikut dengannya. Aku langsung bergegas ganti pakaian. Gaya kasual mungkin yang cocok. Entah aku akan dibawa kemana oleh Ade. Pastinya aku tak akan bisa menduga. Dia penuh dengan ide. Ide cemerlang yang kadang tak terpikirkan olehku. Tapi aku yakin dia tak kan berbuat yang buruk.
Aku diboncenginya dengan motor ninja yang katanya ia beli sendiri dari hasil jerih payahnya. Motorku sedang kuperbaiki karena kemarin terjadi kecelakaan kecil dengan ban depan motorku sebagai korbannya. Sebelum sampai ditujuan Ade menghampiri rumah Bimo, Hamzah dan Antok. Ah, entah apa yang akan ia rencanakan. Aku malas untuk berpikir panjang. Selama perjalanan aku hanya tutup mulut, pasrah menanti apa yang nanti akan terjadi.
45 menit berlalu. Tiba-tiba motor berhenti. Kusibak jas hujan yang menutupiku dari tadi. Hujan sudah mereda. Kemudian kulihat sekitar. Daerah ini tampak asing bagiku. Suasananya sepi. Hanya pedagang sayur yang melenggang saja yang dapat aku lihat. Becek akibat hujan nampak jelas jarena tanahnya belum sempat diaspal oleh mandor-mador yang suka korupsi. Dihadapanku berdirilah rumah sederhana yang dindingnya dimakan umur. Namun tamannya indah dipenuhi bunga.
“Assalamu’alaikum”, seru Ade ke rumah itu.
Sementara aku masih terbingung-bingung dengan daerah ini ternyata Ade, Bimo dan Antok sudah ada di depan pagar rumah itu. Lalu, aku segera menyusul.
“Wa’alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh”, jawab seorang ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Aku dikejutkan oleh sosok yang aku saksikan. Perasaan kaget, terharu, dan bahagia membaur menjadi satu membentuk suatu simfoni yang menggetarkan lubuk hatiku. Paras wajah ibu ini sudah cukup kuat terpancang dalam memori otakku. Dialah Ibu Halimah, guru SD ku. Yang kuingat guruku ini kerap kusapa Bu Imah. Sudah hampir 16 tahun aku tidak menemui beliau. Tahu alamatnya saja tidak. Peduli apa aku waktu SD. Yang kupikirkan hanyalah bermain. Tak lebih dari itu.
Ia merasa terharu dengan kunjungan kami ini. Entah apa yang pernah kami lakukan waktu SD dulu, sehingga membuat Bu Imah, merasa terharu sekali ketika bertemu denganku. Setelah acara temu kangen di teras rumah kami dipersilakan masuk. Aku melihat sekitar. Sungguh ini yang pertama kalinya aku datang ke rumah bu Imah. Ternyata lokasinya berada di Bantul, Selatan Yogyakarta. Rumahnya tampak begitu sederhana. Tak banyak perabotan yang ada. Hanya kursi dan meja untuk menerima tamu serta beberapa foto lapuk yang terpanjang di dinding bambu rumah Bu Imah. Suasana rumah Bu Imah cukup mewakili betapa susahnya hidup beliau.
Setelah beberapa saat Bu imah datang. Kami disuguhi teh hangat dan beberapa roti kering. Cocok untuk suasana pagi yang mendung dan dingin ini. Kemudian kami berlima duduk dan mulai bercerita. Kami bernostalgia tentang masa-masa SD. Masa dimana beban adalah kawan dan masalah adalah sahabat. Tak ada susah yang ada hanya kebahagiaan. Ah, namanya juga anak-anak. Bahagia sekali rasanya bisa melihat senyuman di pipi guruku lagi. Aku benar-benar harus berterima kasih pada Ade.
Di tengah-tengah pembicaraan, Ade bertanya tentang keadaan anak-anak beliau. ternyata anaknya yang paling bungsu, Radityo sedang mengalami demam. Karena tak mampu untuk membayar biaya dokter, maka Radityo hanya dirawat di rumah dengan kondisi apa adanya.
Hari sudah mulai sore. Kami berpamitan pulang. Diperjalanan pulang Ade menceritakan tentang nasib Bu Imah. Rupanya Bu Imah adalah korban gempa Yogyakarta 2006 silam. Rumahnya luluh lantak. Suaminya meninggal akibat bangunan yang tanpa belas kasih menimpa tubuhnya. Beruntung waktu itu Bu Imah dan dua anaknya masih selamt. Kini ia hidup tanpa tulang punggung keluarga. Hidupnya semakin susah. Radityolah anak sulung Bu Imah yang menggantikan ayahnya untuk membanting tulang untuk mencari sesuap nasi. Ia rela tidak melanjutkan ke jenjang kuliah. Ia lebih memilih untuk bekerja, agar dapat membantu fiannsial keluarga. Bu Imah sendiri menjadi burh cuci. Setiap hari kesana-kemari menawarkan jasanya. Aku merenungi kata-kata Ade sejenak.
“Tenang San, Allah takkan memberikan cobaan yang tak mampu dipikul oleh hambanya. Bu Imah adalah sesosok wanita yang tegar dan tabah”
Diperjalanan air mataku tak berhenti mengalir. Deras tak terbendung. Hatiku sungguh merasa iba. Sungguh betapa tak bersyukurnya diriku selama ini yang sudah sering hidup enak dan perut kenyang. Sedangkan Bu Imah pasti merasa kesulitan dalam menghadapi kehidupannya.
Hari Senin, hari yang pastinya penuh dengan aktivitas. Orang-orang sering membenci hari ini karena hari ini selalu sibuk dengan pekerjaan. Mulai dari anak sekolahan hingga pegawai pemerintah banyak yang tak menyukai hari ini. Namun, meskipun kutahu akan banayk tugas yang akan muncul, aku harus tetap semangat targetku IP di atas 3.5. Jadi, aku harus rajin-rajin belajar. Teknik kimia tak hanya menggunakan logika saja namun perlu kerja keras. Kerja keras dengan mental sekuat baja dan ambisi sepanas lahar gunung merapi. Yeah.
Kemarin ia mengutarakan keinginannya untuk membantu Bu Imah. Entah apa yang dia lakukan. Sekarang tampaknya ia tampak sibuk. Ia mengumpulkan anggota-anggota BEM. Tampaknya ia akan menggelar rapat. Dia memang cocok menjadi ketua BEM di kampus kami. Meskipun ia selalu terlihat santai dan supel, jiwa kepemimpinannya tumbuh dengan gagah. Bijaksana, kritis dan pandai berargumen. Ia amat soleh, atak seperti diriku. Ia juga amat berbakti pada ayahnya. Ya, hanya tinggal ayahnya. Sampai sekarang belum berani aku singgung soal ibunya. Aku takut akan membuatnya sedih.
Hujan hari ini turun lagi. Tapi untungnya fluku sudah reda. Aku tersenyum mengejek hujan dengan perasaan bangga. Aku sehat sekarang. Hari Sabtu di bulan yang baru, hari yang menyenangkan. Apalagi setelah usai berdiskusi dengan dosen pengampu skripsiku, Pak Hartanto guru kimia terapan.Aku semakin mantap untuk mengadapi sidang, meskipun masih 2 bulan lagi. Tiba-tiba ponselku berdering. Di layarnya muncul nama Ade.
Ia berbicara dengan terburu-buru. Ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan di alun-alun Utara Yogyakarta. Sudah kubilang ia sering membuatku penasaran. Aku beranati pakaian dan bergegas pergi. Sekarang dengan motorku sendiri.
Aku benar-benar tercengang atas apa yang aku lihat ini. Alun-alun utara Yogyakarta dipenuhi orang-orang yang memenuhi tenda putih besar berlambangkan Universitas kami. Spanduk yang bertuliskan “Charity for the Poor and the Orphans. From our Heart to Their Heart” membuatku tahu siapa yang berulah membuat acara sebesar ini.
Ade berteriak memanggilku berusaha melawan suara musik dari Band yang sedang beraksi di panggung. Dia melambaikan tangan dan aku membalasnya. Segera aku menuju ke tempatnya berada. Tampak anggota-anggota BEM lain yang sedang berkumpul. Tampaknya malam ini adalah malam yang penting bagi mereka. Yaitu acara pembukaan kegiatan penggalangan amal yang akan dihadiri oleh Walikota Yogyakarta.
Aku benar-benar terkesima dengan apa yang telah diusahakan Ade. Aku sungguh malu. Kadang aku iri padanya yang bisa memiliki jiwa sosial setinggi itu. Acara itu memang benar-benar menunjukkan perjuangannya dalam 1 bulan ini. Dia benar-benar mengurus kegiatan ini dengan serius. Aku lihat di susunan acara banyak terpapar nama Band-band Yogyakarta yang terkenal, selain itu juga terdaftar nama-nama artis dan penulis yang siap mengisi acara penggalangan dana tersebut. Aku salut dengan perjuangannya.
“Hidup kamu tak ada apa-apanya tanpa orang lain. Berusahalah menjadi berguna bagi orang di sekitarmu. Allah menyukai orang yang meringankan beban orang lain. Itulah pesan terakhir Bunda padaku”, ujarnya sambil menyeka air mata.
2 minggu sudah sejak acara penggalangan dana berlangsung. Aku penasaran bagaiamana hasil dari kegiatan itu. Aku juga berharap bisa mendapat hasil yang lebih dari cukup. Jadi aku putuskan untuk menanyakan hal itu kepada Ade.
“Alhamdulillah San. Bener-bener lebih dari target kita. Band-band yang manggung gak minta honor banyak-banyak. Para dermawan yang ikut bantu nyumbang banyak juga. Dagangan anak-anak juga laris manis di sana. Alhamdulillah pokoknya”, jelas Ade dengan penuh semangat.
“Alhamdulillah bro, aku juga ikut seneng. Sorry ni gak bisa bantu banyak”, sahutku.
“Alah, santai aja. Lagian ni emang urusan BEM”
“Mau disumbangin kemana aja De?”
“Pokoknya ke seluruh daerah jogja dan sekitarnya. Aku lupa rinciannya. Mira yang bawa. Aku ambil derah Bantul, biar sekalian ke rumah Bu Imah. Mau ikut gak?”
“Oh, jangan ditanya lagi. Sekarang aja aku siap berangkat”.
“Nah, itu yang namanya semangat. Oke, besok aku jemput ke kostmu. Ya, sekitar jam 7 an deh, gimana setuju?”
“Sip bos!”
Esoknya aku sudah siap untuk pergi ke Bantul. Dia bersama dengan beberapa anggota BEM yang lain.
“Yuk kita cabut!”, seru Ade.
Setelah keliling Bantul tiba saatnya untuk ke rumah Bu Imah. Kami memisahkan diri dari rombongan. Karena kunjungan ini spesial bagi kami berdua. Sesampainya di depan pagar bambu rumah Bu Imah kami merasa ada yang aneh. Pekarangan rumah Bu Imah seperti tak terurus beberapa minggu. Pintu rumah yang biasanya terbuka sekarang tertutup. Semuanya membisu. Hening bagaikan tak ada kehidupan.
“Assalamu’alaikum”, kami ucapkan salam berkali-kali namun tak ada jawaban. Kami pun mulai lelah. Kami pikir mungkin Bu Imah sedang pergi keluar. Lalu ada penduduk yang menghampiri kami.
“Cari siapa dik?”, tanya seseoarang yang tiba-tiba muncul dibelakangku.
Ternyata Bu Imah memang tidak ada di rumahnya. Menurut pengakuan bapak yang menanyai kami tadi. Bu Imah sudah kembali ke kampung halamannya di Pekalongan. Seminggu yang lalu anaknya, Radityo divonis dokter terkena demam berdarah yang sudah akut. Namun, sudah terlambat, nyawa Radityo tak dapat diselamatkan lagi. sungguh malang nasib yang menimpa keluarga Bu Imah.
Ade tertunduk lesu. Ia sepertinya mendapat goncangan yang begitu dahsyat karena pernyataan tadi. Tubuhnya berguncang hebat. Wajahnya menunjukkan penyesalan yang amat dalam. tiba-tiba air mata keluar dari pelupuk matanya. Ini kali pertamanya aku melihat Ade menangis. Tangisan ini benar-benar tulus dari hati yang tulus tak menyiratkan ego.
Ade masih terdiam. Tak sepatah kata pun keluar darinya. Aku menanyakan alamat rumah Bu Imah di Pekalongan, namun bapak tadi tidak tahu menahu tentang itu. Rasanya baru kemarin aku berjumpa dengan guru SD kebanggaanku. Guru yang sudah kuanggap ibu sendiri. Aku juga ikut sedih. Tak mampu lagi kubendung air mataku. Aku benar-benar sedih. Sudah terlalu lama aku sibuk dengan keegoisanku sendiri, tak memperdulikan nasib orang di sekitar kita. Sungguh keegoisan ini kerap menutupi hatiku.
“Segala sesuatu terjadi sesuai dengan ketentuan dan kehendak-Nya, dan apa yang dikehendaki pasti terjadi. Apa yang manusia miliki hanyalah apa yang Dia kehendaki untuk mereka. Apa yang Dia kehendaki untuk mereka pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi.”
Aku melihat Ade yang berusaha untuk tersenyum tabah. lalu dia mengajakku untuk pulang. Masih tampak perasaan syok di raut wajah Ade. Angin sore yang dingin ini mengantarkan langkah kami pulang dengan perasaan haru biru.
Tiga tahun sudah semenjak kelulusan dari jenjang kuliah.Sungguh perjalanan panjang yang terasa singkat. Setelah lulus dari UGM, aku dan Ade berpisah. Ia memutuskan untuk meneruskan perusahan ayahnya, sedangkan aku melanjutkan untuk meneruskan S-2 ku di Middle East Technical University di Turki. Rasa kangen tiba-tiba mencuat sesaat setelah kutapakkan kakiku di tanah kelahiranku. Ah, rindu rasanya menghirup udara tropis Indonesia setelah berlama-lama beradu musim di tanah orang. Sesegera mungkin aku pulang ke rumahku di Sleman.
Sesampainya di rumah aku peluk erat orang tuaku. Dengan bangga kutunjukkan ijazah S-2 ku pada ibuku. Bahagia rasanya bisa melihat orang tuaku bangga denganku. kemudian aku teringat sesuatu. Bukan sesuatu namun seseorang. Aku ingin mengetahui kabar dari sobatku, Ade. Maka aku segera pamit kepada orang tuaku untuk berkunjung ke rumah Ade. Rumahnya berada tak jauh dari Stasiun Tugu.
Rumah Ade tak banyak berubah. Hanya catnya saja yang dulu berwarna kuning kusam, kini berubah menjadi hijau muda. Tamannya sekarang memiliki berbagai macam bunga yang menarik perhatian mataku. Seperinya ia memiliki tetangga baru di sebelah rumahnya. Seingatku dulu hanya pekarangan kosong yang sering ditanami empon-empon, kini berubah menjadi rumah yang sederhana namun berkesan elite berlantai dua. Ah, entah siapakah tetangganya itu, aku tak begitu peduli. Di depan pagarnya kuucapkan salam. Pada salamku yang kedua, muncullah seseorang. Dan seseorang adalah Bu Imah.
“Masya Allah, Bu Imah. Apa kabar?”, tanyaku penuh dengan tanda tanya karena bukannya Ade yang menyambut, justru Bu Imahlah yang ada.
“Eh Nak Ihsan, alhamdulillah Ibu baik-baik saja”, jawab beliau.
Aku tak menyangka Bu Imah tinggal di sini. Ia tinggal bersama beberapa sanak familinya di rumah yang sebenarnya kutahu adalah milik orang tua Ade. Ibu Imah menjelaskan secara gamblang dan jelas segala pertanyaan yang muncul dari mulutku. Rupanya setahun yang lalu Ade mengunjungi rumah Bu Imah di Pekalongan. Entah darimana ia tahu. Ia menawari Bu Imah untuk tinggal bersamanya di Yogyakarta. Lalu dimana Ade berada? Tak perlu jauh-jauh kucari, sosok yang ingin kucari sudah muncul dihadapanku. Ia rupanya tinggal di sebelah rumah. Rumah yang aku kira milik tetangganya. Sungguh mengejutkan. Kemudian ia memelukku dengan erat. Perasaan bahagia bercampur haru pun menjadi. Ia sudah banyak berubah mulai dari cara berpakaiannya, cara berbicaranya, namun sifatnya tetap bagaikan malaikat.
Ia mengajakku untuk ke rumahnya. kami bernostalgia sebentar menceritakan apa saja yang telah dilakukan selama 5 tahun ini. Sekarang dia adalah businessman muda. Ia melanjutkan usaha bakso dan mie ayam milik ayahnya. Berkat kerja keras dan keuletannya ia dapat mengembangkan usaha kecil ayahnya itu dan dapat mempekerjakan banyak orang. Cabangnya jangan ditanya, tersebar ke seluruh nusantara.
“Benar-benar beruntung aku San. Tanpa pertolongan-Nya mungkin aku sudah jadi sarjana pengangguran. Oh ya maukah kau kutunjukkan sesuatu?”, ujarnya. Ah, dasar Ade selalu membuat orang penasaran.
Setelah berjalan kira-kira 100 meter dari rumah Ade kami tiba di suatu rumah. Rumah besar yang memanjang ke belakang. Tamannya indah suasananya menyenangkan. Anak-anak kecil bermain riang di sana. Meski guratan wajah mereka menunjukkan ketidakadilan hidup, namun disini mereka seolah lupa akan segala masalah yang menjangkiti tubuh mereka. Di sebelah barat rumah itu ada musholla. Tampak beberapa anak dan seorang wanita sedang mengkaji Al Qur’an bersama. Pohon-pohon rindang teduh melindungi kedamaian rumah tersebut. Sungguh keharmonisan yang dapat menyegarkan kembali jiwa yang lelah ini. Aku sudah tahu ulah siapa ini. Di depan rumah ini terdapat plang yang bertuliskan, “Panti Asuhan Darul Ilmi”. Ya, itulah kawanku yang sudah aku kenal dari dulu. Aku bangga bisa berteman dengannya.
“Ingat San, kita hidup tidak sendirian. Karena sudah kodrat Allah kalau kita tak akan bisa hidup sendirian. Buatlah dirimu bahagia dengan membuat orang lain bahagia. Contohlah Sang Lilin. Ia memberikan cahaya harapan untuk benda disekitarnya meskipun ia sendiri lambat laun akan habis meleleh dimakan cahayanya sendiri. Tak pernah mengeluh dan tak mengenal pamrih. Itulah sang Lilin”
Aku banyak belajar padanya. Mengenai banyak hal tentunya. Aku akan coba untuk berbagi dengan orang lain. Membagi ilmu yang kumiliki ini. Sudah kupikirkan apa saja yang kira-kira akan kulakukan nanti ke depan. Kuharap bisa berguna untuk orang lain. Meski mungkin tak sekeras perjuangan Ade, namun aku akan mencobanya dengan sepenuh hati. Sekarang aku bisa membuat kesimpulan dari semua pelajaran yang diberikan Ade padaku.
“Live to be nothing, or dare to be something", apapun yang akan kita pilih akan menentukan jalan kehidupan kita.
Read More......