Minggu, 18 September 2011

ADZAN DI SIANG ITU

Ketika pulang, Ranum langsung mencium tangan ibunya tapi ia mengabaikan adikknya yang sedang asyik membaca novel dan kemudian masuk ke kamarnya. Tanpa basa-basi ia menyingkirkan kain penutup komputernya dan menarik kursi belajarnya mendekat. Ia duduk dan menunggu munculnya layar desktop computer. Sambil bersenandung riang ia langsung memainkan game computer kesayangannya “Seal Online”. Karena ini hari Sabtu ia bisa bermain sepuasnya dari siang hari hingga tengah malam. Kebiasaannya itu tidak disukai orang tua dan adiknya. Kalau sudah main dia bisa lupa segalanya. Seakan-akan dunia ini bagai file-file tak berguna yang ia abaikan. Kegemarannya main game online itu dimulai sejak teman sekelasnya mengajaknya bermain game tersebut di game center dekat sekolahnya. Oleh karena itu ia membeli perangkat-perangkat computer yang dibutuhkan untuk bermain game tersebut.

“Allahuakbar..allaaaahuakbar…”, adzan asar dikumandangkan.

“Mas..ayo sholat dulu. Tu temen Mas pada ngajakin sholat jamaah di masjid”, kata adiknya, Nurmi.

“Duh, bentar deh Nur. Tinggal dikit lagi levelnya naek nih. Bilang mereka ntar aku nyusul deh. Ok”, ujarnya tanpa menoleh ke arah adiknya.

“Aduh Mas ini sih? Nanti kalo lupa sholatnya gimana?”, nasihat adiknya.

“Oke, oke. Bentar lagi deh”, sahut Ranum.

“Ya udah kalo gitu”, dengan muka cemberut adiknya pun meninggalkan kamarnya.

Dulu, sifat Ranum  tidak begitu. Dia rajin sholat dan mengaji. Bahkan dia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan masjid. Namun, setelah ia dibelikan computer, ia berubah. Sholat jama’ah sering ditinggalkan bahkan tak jarang lupa sholat. Dia jadi semakin malas. Semangat dan optimismenya pudar. Nilai-nilai pelajaran sekolahnya turun. Les-les yang diikutinya kini ditinggalkannya semua. Ia juga cenderung menyendiri. Sekarang teman bergaulnya adalah teman-temannya yang juga gila akan game. Orang tuanya sudah berulang kali menasehatinya, namun hatinya belum terketuk. Computer bagaikan tuhan tempat dia berkiblat. Ia benar-benar menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bermain game.

Esok hari, tidak seperti biasanya ia pergi keluar membuka pinta dan menarik nafas panjang. Setelah hujan kemarin udara terasa segar. Genangan air masih terlihat di jalanan. Pagi itu masih sepi. Belum ada kendaraan yang lewat di depan rumahnya. Setelah melihat sekeliling ia izin kepada ibunya untuk pergi jalan-jalan ke alun-alun.

Sesampainya di alun-alun Ranum duduk di bangku taman dan melihat orang-orang bermain bola. Sudah lama ia tidak melakukan hal tersebut. Dalam pikirannya ia menyadari ada sesuatu hal yang aneh pada dirinya. Tiba-tiba tanpa disadari di sampingnya, ada seseorang yang berbicara padanya.

“Ranum yang kukenal kini telah hilang entah kemana”, ujar orang tersebut.

Kemudian ia menoleh ke samping kirinya. Betapa kagetnya ia melihat orang itu. Dia adalah Syukron teman sekelasnya. Dulu mereka adalah sahabat yang sangat dekat. Mereka bersahabat sejak SD sampai SMA ini. Namun, semenjak hal itu persahabatan mereka merenggang.

“Assalamu’alaikum”, salam Syukron.

“Wa’alaikumsalam”, balas Ranum.

“Kamu kenapa Num. Computer itu menghipnotismu ya?”

“Ah, gak tau Kron, aku juga bingung kenapa kok aku gak bisa ninggalin kebiasaan itu”

“Bukannya ‘gak bisa’ tapi ‘belum bisa’. Pasti ada jalan kok”

“Tapi aku benar-benar sudah sakau. Semuanya aku lupain. Aku sadar tapi kok sulit banget gitu lho”

“Yang penting ada kemauan untuk berubah. Dulu kan kamu sendiri yang pernah bilang”.

“Iya Kron”

Pertemuan yang singkat itu membuat Ranum mengingat kembali kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut. Ia pernah mengatakannya kepada Syukron saat Syukron selalu bersikap pesimis terhadap semua hal. Tapi kini ia malah mengingkari kata-katanya sendiri. Ia merasa malu terhadap diirinya.

Esok harinya, ia terduduk lemas di kelas. Kemudian Rahmi mendekatinya dan mengajaknya bicara.

“Num, ak ngrasa kamu akhir-akhir ini berubah deh. Ada apa sih emangnya?”, ucap Rahmi lembut.

“Berubah apanya Mi?” Tanya Ranum retorik.

“Kamu pasti ngrasain sendiri perubahanmu. Sekarang kamu… ya agak kurang peduli sama teman-teman dan nilai kamu. Ada apa sih sebenernya?”, ujar Rahmi yang kemudian duduk di bangku depan Ranum.

Ranum membisu ia tidak bisa menjelaskan apa-apa kepada Rahmi. Ia merasa sangat malu. Mereka saling diam beberapa detik. Kemudian Ranum mulai bicara dan menceritakan masalahnya.

“O jadi begitu ya? Penyakit anak remaja jaman sekarang memang seperti itu, terutama anak laki-laki. Klo udah nge-game pasti keterusan deh. Jangan sedih Num, pasti kamu bisa balik lagi kayak Ranum yang dulu. Ato mungkin malah tambah baek. aku yakin kok He..he..”, ujar Rahmi memotivasi Ranum.

“Aku bingung”

“Ngapain bingung? Percaya dan yakin aja ma dirimu. Allah pasti memberikan petunjuk pada hamba-Nya yang kebingungan. Umm.. oh ya gimana klo kamu besok dateng ke masjid. Ada majelis taklim lho. Siapa tau aja bisa ngasih motivasi kamu. Klo kamu tertarik dateng aja ke Masjid Al-Ikhlas jam 9 pagi besok minggu. Ustadnya cukup terkenal lho”, kata Rahmi.

“Gimana ya? Oke dah InsyaAllah aku ikut”, sahut Ranum.

Hari minggu tiba. Ia berpakaian yang rapi lalu pergi dengan sepeda ke Masjid yang dibicarakan Rahmi. Masjid itu adalah masjid dimana Ranum sering ikut aktif di dalamnya. Kepalanya tertunduk malu kemudian masuk ke dalam. Di sana ia melihat banyak teman-teman sekampungnya yang sering juga aktif di masjid. Ranum menjauh dari mereka. Tapi Syukron menegurnya. Kemudian Ia bergabung dengan teman-teman lainnya dan mendengarkan ceramah.

Ceramah itu membuat Ranum merenung. Ia sadar betapa banyak waktu yang ia sia-siakan. Hidup ini hanya sekali, terlalu indah untuk kita buat sia-sia, karena memang Allah menciptakan makhluknya tidak untuk sia-sia. Betapa bahagianya hidup ini bila kita jalani dengan penuh semangat dan optimisme yang tinggi. Betapa indahnya hidup ini bila hari-hari kita jalani dengan senyum kebahagiaan dan sikap positif memandang masa depan. Betapa sejuknya bila kita sabar menghadapi setiap permasalahan, kemudian kita berusaha memecahkannya dan mengambil hikmah dari setiap kejadiaan.

Setelah para majelis pulang Ranum, Syukron dan beberapa pemuda masjid lainnya masih tetap tinggal di sana. Mereka mengaji bersama sampai Zuhur tiba.

“Kron, azan dulu gih sana”, ujar seorang pemuda.

“Iya-iya sebentar. Satu ayat lagi”, sahut syukron.

“Tunggu kron!”, sela Ranum.

“Kenapa Num?”, tanyanya sambil menoleh ke arah Ranum.

“Biar aku saja yang adzan”, pinta Ranum.

“Dengan senang hati”, ujar Syukron mempersilakan.

Ia berjalan menuju mimbar dan memegang michropon. Jantungnya berdegup kencang. Ia sudah tidak pernah lagi adzan semenjak beberapa bulan yang lalu. Ia menarik satu nafas panjag dan memulai adzan pertamanya setelah lama terbelenggu dalam kegelapan.

“Alllaaaaaahuakbar…allaaaaaaaaaaahuuakbar…”

Mulai saat itulah Ranum kembali berubah. Ia meninggalkan keseringannya main game computer. Kini ia kembali optimis dan menjalankan semua kegiatan-kegiatannya dengan penuh semangat. Subhanallah.

0 comments:

Posting Komentar