Jumat, 10 Januari 2014

Berlari Mengejar Impian

Ini adalah cerpen karya adikku yang telah aku edit di beberapa tempat. Semoga ceritanya bisa memotivasi kita betapa pentingya semangat untuk meraih impian. Karena kesempatan bisa datang kapan saja. Berutunglah bagi orang yang siap, siap menghadapi kesempatannya tersebut dengan usaha yang terbaik. Silakan menyimak. :)

***

Bel tanda akhir sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Ah, banyak dari mereka yang tak menikmati yang namanya menuntut ilmu. Ditambah lagi esok adalah hari minggu. Hari dimana melepaskan penat setelah seminggu belajar di kelas. Mereka seharusnya memanfaatkan kesempatan emas untuk berkarya di SMP ini sebelum mereka duduk di semester akhir kelas 9 seperti diriku. Dimana beberapa bulan lagi masa menuntut ilmuku di SMP ini akan berakhir.
Aku pun segera berkemas untuk pulang. Seperti biasa setiap pulang sekolah aku selalu sempatkan untuk mengunjungi rak itu. Rak yang membuatku selalu mengingat kembali pada masa itu, masa yang memberikan pencerahan bagi diriku bak matahari yang terbit setelah hujan reda. Melahirkan pelangi yang indah menawan. Aku berusaha mengingat-ingat lagi lebih jauh pada masa itu. Senyum tersimpul dari bibirku.

***

Pagi ini, langit tampak mendung. Rintik hujan mulai turun, perlahan, sunyi tanpa suara, mendarat di atas kaca jendela perpustakaan, tepat dihadapanku. Di saat yang sama hatikupun sedang demikian. Mendung, aku gelisah. Aku memandangi parkiran sepeda dari jendela sambil menopangkan dagu di atas tangan. Aku masih mengharap secarik piagam di genggamanku. Satu saja pun tak masalah bagiku. Ya, satu saja. Guruku sering mengikutsertakan aku dalam lomba sains. Namun, dari sekian lomba yang aku ikuti, belum ada penghargaan yang dapat kuraih. Impian itu kian menjadi sebuah angan yang tak terwujud. Hanya menambah koleksi impian-impian lainku yang tak pula kunjung terwujud. Ah, sedihnya.
Jam pelajaran terakhir kosong, namun kami tak diizinkan pulang oleh guru piket sebelum bel tanda pulang berbunyi. Sebagian temanku ada yang tetap menunggu di kelas, sebagian lainnya di kantin dan sisanya menunggu di perpustakaan, termasuk diriku. Perpustakaan adalah tempat favoritku. Namun entah mengapa, kali ini suasana di perpustakaan nampak suram bagiku. Pasti karena gundah dalam hatiku ini. Jadi aku putuskan keluar. Mungkin dengan mengambil sedikit udara segar aku akan baikan.
Aku menyukai suasana hujan. Suara benturan halus bulir hujan yang menghujam daratan, membentuk sebuah simponi suara yang menenangkan dan mendamaikan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, bau tanah basah ini memang menyegarkan. Lagi-lagi aku memohon hujan untuk menghiburku.
Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian akhir semester atau UAS. Aku sudah tak begitu bersemangat menghadapi UAS seperti dulu. Kuakui aku merasa kecewa pada diriku sendiri. “Ah, apa yang bisa kubanggakan dari dariku”, ujarku dalam hati. Aku merasa sudah berusaha sangat keras dan selalu berdoa agar aku mendapat kesempatan itu. Namun hal itu tak kunjung membuahkan hasil.
“Semua ini adalah yang terbaik dari Allah untukku. Cheer up, it’s okay! It’s not the end of everything,” ujarku pada diriku sendiri. Aku kembali terdiam, air mata ini tiba-tiba saja membasahi pipi. Hujan semakin deras.
“Krrriiiiiiiiiinnng..,” suara bel tanda sekolah usai membuyarkan lamunanku. Aku teringat hari ini akan ada pendalaman materi atau biasa kami sebut PM untuk pertama kalinya. PM adalah program khusus dimana kami akan belajar lebih intensif untuk menghadapi UAS. Kami pun bergegas turun dari kelas menuju lab biologi, tempat PM kami. Aku dan teman-temanku pun bersenda gurau di depan lab biologi sembari menunggu guru PM yang datang.
“Nafis.. Rizky.. Fai..” dalam gemuruh hujan, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku pun menoleh ke arah koridor di sisi kiriku dan ternyata dia adalah guru biologiku, Pak Syauqi. Entah mengapa perasaanku mulai tak enak, seperti ada sesuatu yang mengusik saat itu. Aku pun sempat berpikir yang tidak-tidak, seperti kesalahan yang pernah kulakukan dulu terhadap beliau. Lalu, kami pun menghampiri pak Syauqi.
“Ada apa ni Pak, kok kita dipanggil. Hehe…?” tanya Fai cengengesan.
“Bapak dapat undangan dari dinas untuk lomba Karya Ilmiah Remaja. Kalian ikut ya. 1 kelompok 5 orang” , kata pak Syauqi.
“Hah? Lomba apa pak?” tanyaku.
“Kalian tinggal siapkan karya tulis aja. Idenya kalian yang tentukan.”
Tentu saja aku terkejut mendengarnya. Ditambah lagi hal itu diajukan untuk suatu ajang perlombaan yang artinya kami akan mewakili sekolah kami. Tiba-tiba jantungku berdegup lebih kencang. Entah apa yang seharusnya kurasakan. Apakah bahagia? Senang? Terkejut? Atau rasa takut akan kegagalan yang akan terulang seperti dulu?
Kami hanya bertiga. Diperlukan dua orang lagi untuk ikut bergabung dalam kelompok kami. Kami pun memutuskan untuk mengajak Azkiya, salah satu teman sekelas kami. Dia juga teman baikku, sehingga aku yakin dia bisa menjadi partner yang baik dalam kelompok kami. Dan seperti yang kuduga, tanpa basa-basi, dia segera mengiyakan ajakan kami. Untuk satu anggota lagi kami ingin merekrut Acha. Dia adalah anak yang pandai. Rangkingnya di kelas selalu saja tinggi. Dia tak pernah keluar dari zona 3 besar tertinggi di kelas kami. Awalnya di susah untuk kami ajak karena dia ingin fokus ke UASnya. Dia tak begitu tertarik untuk mengikuti KIR di saat ini. Namun, setelah lama kami bujuk, dia pun akhirnya mengiyakan. Nampak semakin lengkaplah regu kami. Lalu, kami putuskan untuk berdiskusi di rumah Rizky seusai PM ini. Mendung di hatiku mulai sirna. Aku merasa ada secercah harapan untuk kesempatan ini. Hujan di luarpun mereda. Nampak matahari mulai cerah setelah disembunyikan awan.

***

Aku memandangi halaman luar rumah Rizky yang luas dari jendela. Kami berusaha mencari ide untuk KIR kami. 20 menitpun berlalu tanpa suara kecuali dengan bergumam saja. Tiba-tiba mataku tertuju pada tempat sampah yang berada di ujung kamar. Aku mengamati tempat sampah tersebut. Apa yang bisa aku ciptakan dengan tempat sampah itu. Suatu ide pun muncul dalam pikiranku.
“Eh-eh, gimana kalo kita bikin tempat sampah?” usulku disambut dengan wajah-wajah heran teman-temanku.
“Ha? Tempat sampah? Maksud loe?” tanya Fai. Dahinya berkerut.
“Idih, masak bikin tempat sampah sih. Kan dah banyak, Fis”, ujar Acha.
“Iya, aku tau Cha, kita bakal buat tempat sampah yang beda. Tempat sampah otomatis. Kalo bahasa inggrisnye ye, auto trashbin!” jelasku dengan mata berbinar.
“Kedengarannya menarik tu Fis”, sahut Rizky.
“Di sekolah kita kan ada 3 jenis tempat sampah ya. Organik, anorganik, dan khusus limbah”, lanjutku.
“Iya, emang kenapa sama tempat sampah ntu?” Tanya Fai penasaran. Alisnya naik turun.
“Meski dah tersedia tempat sampah itu, tapi belum banyak anggota sekolah yang membuang sampah sesuai dengan kategorinya, kan? Jadi daripada tempat sampahnya ada 3, mending dibikin jadi 1. Jadi, tempat sampah itu ada sensor yang bisa ngedeteksi jenis sampah dan setelah terdeteksi ada suatu sistem untuk memisahkannya. Jadi gak tercampur aduk melainkan terpisah secara otomatis. Paham kagak ni?”, jelasku lagi.
“Wah boleh juga tuh idemu. Yuk segera kita kembangkan!” dukung Azkiya.
“Gue juga setuju tu. Hehe”, ucap Fai sambil memamerkan giginya yang gingsul.
Esoknya kami diskusikan hal ini bersama Pak Syauqi. Ide ini terdengar sederhana, namun kenyataannya tak sesederhana yang kami pikirkan. Karena kesulitan tersebut teman-teman kami nampak pesimis. Akupun menyimpan ide tersebut, berharap menemukan sesuatu yang lebih baik untuk dijadikan karya tulis.

***

Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa kami sudah duduk di semester 1 kelas 9. Tim kami tak kunjung menemukan ide yang cocok untuk dijadikan karya tulis. Yah, kami akui kesalahan ada pada tim kami. Karena kesibukan masing-masing selama liburan kenaikan kelas, karya ilmiah kami terbengkalai.
Pak Syauqi sudah tidak mengajar di kelasku lagi. Saat aku bertemu di awal semester ini beliau hanya tersenyum halus dan bertanya tentang kabarku dan teman-teman. Ya, beliau tak pernah memaksa kami untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Aku tahu beliau tidak pernah memaksa murid-muridnya, hanya menyarankan yang terbaik kepada murid-muridnya saja. Semua itu kembali pada si murid. Karena menurutnya memaksa murid untuk lomba dan meraih juara adalah suatu hal yang tidak baik. Namun aku tahu, di setiap senyum dan sorotan mata pak Syauqi, beliau selalu berharap agar murid-muridnya sukses di masa depan. Beliau akan terus setia menanti kabar. Kabar yang baik dari murid-muridnya.

***

Waktu, lagi-lagi berjalan cepat. Bahkan aku hampir tidak merasakannya. Ini adalah minggu terakhir libur Idul Fitri kami. Tiba-tiba bundaku spontan menanyakan tentang karya ilmiahku.
“Nafisa dah gak semangat bun”, ujarku lemas.
“Lhoh kok gitu sih. Ini kesempatan terakhirmu lho. Siapa tau bisa juara. Bunda dukung deh”, ujar bunda dengan penuh kasih sayang.
“Tapi projeknya Nafisa susah bun”
“Dah Nafis coba usahakan?”
“Belom”
“Kok bilang susah?”
“Sebenernya dah didiskusiin gitu sama pak Syauqi. Kata beliau bagus. Tapi setelah diskusi lagi sama temen-temen, kok kayaknya susah”, jawabku pesimis.
“Aiih, coba diusahakan lagi deh. Sesuatu kalau gak kita usahakan keras ya gak bakal berbuah yang bagus dong. Apapun hasilnya nanti, meski tak sesuai dengan yang kita inginkan, Allah pasti beri yang terbaik. Yang penting udah usaha. Bunda yakin anak bunda yang cantik ini pasti bisa”, jelas bunda dan kemudian segera memelukku.
Benar apa yang dikatakan bunda. Di malam itu juga aku segera menghubungi teman-temanku. Dengan bantuan skype aku berdiskusi dan membagi tugas dengan mereka. Walaupun aku sedang sakit, aku tetap berusaha untuk yang terbaik. Karena ini adalah kesempatan terakhir kami, kesempatan terakhirku. Malam itu Aku benar-benar berlari. Mengerahkan segala tenagaku. Ya, aku sedang berlari mengejar impian itu.
Setelah kami masuk sekolah, segera kami berdiskusi kembali dengan pak Syauqi. Seperti yang kuduga, setelah mendengar kabar dari selesainya laporan kami dia tersenyum yang bermakna, “Ini yang Bapak tunggu dari kalian”. Namun, ternyata kami masih melakukan banyak kesalahan dan perlu diperbaiki. Karena sudah deadline, kami bahkan terpaksa meminta izin untuk tidak mengikuti kelas untuk mengerjakan karya tulis ini. Pak Syauqi telah meminta izin pada setiap guru untuk kami. Ah, beliau memang selalu baik.
Akhirnya, setelah melewati beberapa revisi atau perubahan, dalam waktu 3 hari kami dapat menyelesaikan karya tulis ini. Kami segera mengumpulkannya ke pak Syauqi. Aku tahu karya tulis kami ini sederhana. Tapi kami optimis kami dapat lolos ke tahap selanjutnya. Aku terus berdoa.

***

Sudah 2 bulan sejak karya tulisku kami dikirim ke panitia lomba KIR. Kami belum mendengarkan kabar mengenai karya tulis kami ini. Berkali-kali kami berniat menanyakan kabar tersebut ke pak Syauqi, namun selalu saja kami urungkan niat itu. Kami sungkan untuk bertanya pada beliau. Aku pun mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Apakah ini bukan jalanku lagi? Apakah kesempatan terakhirku telah berakhir?
Hari-hariku di sekolah berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Aku berusaha untuk selalu tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. Seperti biasa, aku tetap bersenda gurau dengan teman-temanku. Berbagi tawa, canda, dan ceria bersama. Walau kenyataannya, jauh di dalam hatiku muncul rasa gelisah dan pengharapan yang amat sangat besar. Hanya aku dan Allah yang tau.
Tok..tok..tok.. terdengar seorang murid mengetuk pintu kelasku, menghentikan bu Aisyah yang sedang menjelaskan pelajaran matematika. Orang itu adalah siswi dari kelas sebelah. Dia meminta izin masuk dan mendekati bu Aisyah, lalu memberitahukan sesuatu. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan namun aku bingung kenapa mereka melirik ke arahku. Tak lama setelah siswi itu pergi. Bu Aisyah pun memanggilku.
“Nafisa, Pak Syauqi menyuruh kamu datang ke ruang guru sekarang”, kata bu Aisyah.
“Ada apa ya kira-kira bu?”, tanyaku merasa penasaran.
“Ibu juga kurang begitu tahu. Coba segera saja kamu menghadap pak Syauqi, nampaknya penting”, jawab beliau.
“Oh iya kalau begitu bu, saya mohon izin”
“Tentu, silakan”, ucap bu Aisyah sambil tersenyum ramah.
Jantungku berdebar keras. Ada apa ya, tanyaku dalam hati. Sambil berjalan menuju kantor, aku mengecek BB-ku yang aku silent selama pelajaran. Ternyata ada beberapa pesan bbm yang masuk. Salah satunya adalah dari pak Syauqi. Ya, dari pak Syauqi! Pesan tersebut berbunyi:
Nafisa & teman2 tim mohon sgr mnuju ruang guru. Penting. Ad yg ingin bpk bcrakan.
Entah ini berita baik atau berita buruk. Perasaanku campur aduk. Segera aku membalikkan diri dan melangkah kembali lagi ke kelas bu Aisyah untuk memanggil Fai dan Rizky. Bersama mereka aku menuju ke kelas lain dimana sisa tim kami berada.
“Eh-eh, ngapain pak Syauqi manggil kita ya? Jangan-jangan.......” ucap Fai dengan mata terbelalak sambil menyeringai ke arahku.
“Jangan-jangan apa?” tanya Azki.
“Omg omg omg omg guysss!!! Kayaknya gue punya firasat baik dehh”, seru Fai gembira.
“Aamiin. Gue tau apa yang ada dipikiran loe” jawabku santai.
Setelah teman-teman timku lengkap, kami berjalan menuju ruang guru. Nampak di seluruh wajah temanku, termasuk diriku, tersirat suatu kecemasan dan pengharapan akan kabar baik. Kecuali Fai. Sepanjang koridor dia lompat sana-sini menari tak karuan sambil berseru, “Yuhuuu….yuhuuu….”. Membuat kita harus menahannya berkali-kali mengingat waktu pelajaran di kelas lain masih berlangsung.
Tibalah kami di depan pintu kantor guru. Jantungku berdegup kencang. Perasaan ini bercampur aduk. Dengan tangan gemetar aku mengetuk pintu.
“Silakan masuk,” ujar seorang guru dari dalam. Aku mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu dan masuk ke dalam. Tampak olehku Pak Syauqi, Bu Widi, dan bu Heny sedang duduk di sofa panjang di ruang tengah. Pak Syauqi memberi isyarat pada kami dengan lambaian tangan untuk datang mendekati beliau. Kutengok teman-temanku, wajah mereka masih cemas kecuali wajah Fai yang merah menggelembung, tak tahan untuk meluapkan kegembiraannya. Dasar Fai, pak Syauqi saja belum bilang apa-apa. Namun, dengan melihat lucunya wajah Fai, hatiku tampak lebih lega dan rela untuk mendengarkan apapun yang akan diberitakan pak Syauqi.
“Jadi begini, tadi ada surat datang dari diknas….”
“Apa itu Pak! Apa itu Pak!” seru Fai secara spontan memotong perkataan pak Syauqi. Aku mencubit perutnya. Pak Syauqi hanya tersenyum, juga teman-teman yang lain.
“Dalam surat tersebut tertulis bahwa karya tulis kalian lolos ke tahap kedua,” lanjut pak Syauqi.
“Yeessss!!!!!” teriak Fai sambil meninjukan tangannya ke udara.
“Ya, Bapak ucapkan selamat pada kalian. Lomba tahap kedua akan berlangsung hari Kamis minggu ini di Jakarta Selatan. Di tahap ini kalian harus mempresentasikan karya tulis itu didepan juri. Jadi, bapak sarankan kalian agar segera mempersiapkan power point, miniatur, dan segala properti lain untuk mempermudah presentasi kalian. Jika ada masalah kalian bisa menemui bapak”, jelas beliau.
“Siap Pak!!!” ujar kami serempak. Segera kami berterima kasih dan mencium tangan pak Syauqi dan dua guru lainnya.
Di perjalanan kembali ke kelas, aku tak memperdulikan Fai yang sedang berjingkrak-jingkrak tak karuan gembiranya. Aku diam merenung. Meski baru lolos ke tahap kedua aku sangat bersyukur. Alhamdulillah, ucapku dalam hati sambil memejamkan mata. Meski aku tau masih banyak rintangan yang akan menghadang di depan. Tapi aku lega. Setidaknya untuk sekarang.
Lomba akan diadakan hari Kamis, artinya dua hari lagi dari sekarang. Waktu yang sangat singkat, bukan? Kami masih harus mengerjakan power point dan miniatur untuk lomba. Apakah kami dapat melakukannya dalam waktu yang singkat? Pertanyaan itu terus terngiang dalam benakku. Kami segera membagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pembuat presentasi yang terdiri dari aku dan Azki, serta pembuat miniatur Acha, Fai, dan Rizky. Kami pun memulai pekerjaan masing-masing sesuai dengan tugas kami. Lagi-lagi rumah Rizky menjadi markas kita. Hari itu kami mengerjakannya hingga larut. Bundaku menelpon berkali-kali karena khawatir.
Kami terus berusaha melengkapi karya ilmiah kami hingga sehari sebelum lomba. Setelah persiapan kami selesai, kami melakukan rehearsal atau latihan terakhir kali sebelum lomba. Bu Fatimah, guru Bahasa Indonesia kami pun turut membantu dengan mengoreksi cara bicara dan bahasa kami dalam presentasi. Oh ya, yang menjadi pembicara utama dalam karya ilmiah ini adalah aku. Aku bergumam dalam hatiku aku pasti bisa!

***

Kamis, 31 Oktober 2013, hari ini matahari tampak lebih cerah dari biasanya. Tak ada mendung. Aku dan teman-teman se-timku berjalan dengan pasti menuju tempat lomba. Kami tidak peduli siapa saingan kami. Kami hanya memikirkan untuk melakukan yang terbaik.
Jam tanganku menunjukkan pukul 08.45, menandakan bahwa 15 menit lagi perlombaan akan segera dimulai. Terdapat 15 kelompok dalam 1 bidang mata pelajaran. Kami berada di bidang IPS. Panitia perlombaan menyuruh perwakilan masing-masing dari setiap kelompok untuk mengambil nomor urut perlombaan. Aku pun mengambil undian mewakili kelompok kami.
Kertas undian kami pun dibuka. Ternyata kami mendapat giliran ke-6. Kami bersyukur karena kami masih memiliki banyak waktu untuk berlatih kembali dan memahami presentasi kami. Tak lupa kami tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada-Nya.
Waktu menunjukkan pukul 12. Sekarang sudah giliran ke-5. Setelah ini adalah giliran kami. Kami merasa sedikit gugup tapi kami berusaha untuk tenang dan percaya diri. Setelah menunggu sekian lama, seorang juri pun keluar dari ruang lomba. Beliau berkata bahwa lomba akan dilanjutkan setelah makan siang atau jam 1. Semakin tak tahan aku dibuat menunggu.
Pukul 13.00, akhirnya salah seorang panitia memanggil kelompok kami dengan pengeras suara. Kami serempak menarik nafas panjang dan melangkah menuju ruang penjurian. Setelah memasuki ruangan, aku melihat ada 3 juri yang aku dengar berasal dari LIPI. Aku berusaha membuang perasaan gugup yang menjangkiti diriku ini. Setelah mempersiapkan segala hal, aku maju ke depan siap untuk presentasi di hadapan mereka. Ya Allah, bantulah diriku.

***

“Nafisa..Nafisa..pulang yuk. Kok ngelamun aja nih?”, ujar seseorang menghentikan lamunanku. Aku menoleh dan ternyata itu suara Azkiya. Lagi-lagi aku sedang memandangi rak piala yang terpajang di dekat pintu masuk SMPku. Dari sejak sekolah usai tadi aku terus tersenyum sambil melihat ke sebuah piala yang berada di rak tersebut. Piala yang dulunya adalah sebuah impian, namun kini telah ada dihapanku. Rasa syukur kepada-Nya tak henti-hentinya aku ucapkan hingga hari ini, dimana sebentar lagi aku akan meninggalkan SMPku yang tercinta itu. Sebuah piala besar yang meninggalkan sebuah kenangan indah. Piala itu bertuliskan:

JUARA I LOMBA KARYA TULIS
Tingkat SMP Se-Jakarta
“Auto Trashbin”
LIPI, 31 Oktober 2013


Read More......

Nasehat Itu Selayaknya Indah

Dalam kehidupan ini, kita akan menemui banyak orang dengan berbagai macam sifat dan watak. Aku yakin diantara orang yang kawan temui pasti unik, memiliki kepribadian masing-masing. Maka dari itu sikap manusia cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri. Patutlah kita pribadi belajar untuk meredam perasaan itu.
Aku selalu sibuk mengurus dan memikirkan sikap orang lain. Memikirkan kadang betapa kurang baiknya mereka. Aku ingin mereka menjadi apa yang kuinginkan. Sempurna. Tanpa cacat. Sesuai kemuauanku. Tapi itu mustahil bukan? Seperti yang telah kusebutkan di atas tadi, manusia itu cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri.


***

Aku tak habis pikir, mengapa ia tega melakukannya. Tugas piket rumah kali ini seharusnya dia yang melakukan. Seisi rumah lagi-lagi kelaparan dibuatnya. Sialan, lagi-lagi dia kabur. Aku benar-benar kesal kali ini. Sudah berkali-kali dia melakukan perbuatan ini. Tak bisa dibiarkan. Aku ingat janji-janjinya tadi sore.
“Hari ini gue mau bikin skripsi, jam 5 ntar habis pulang gue masak deh”
“Kau yakin? Sempe jam berapa?”
“2 jam an lah”
Malamnya dia langsung pergi, entah kemana. Terpaksa aku lagilah yang menggantikannya memasak, juga mencuci piring-piring.
“Yah mau bagaimana lagi, Her. Nanti kalau datang aku kasih tau dia”
“Begitu terus yang kau katakan! Lembek kali lah kau! Kau kan ketua rumah disini! Tak becus pula.. Ah…”, aku menghentikan ucapanku. Tak tega aku membentaki Seno.
Seno tak membalas. Dia ketua rumah kami. Dia berwatak sabar, bijak dan adil. Dia selalu berkata lembut dalam menasehati kita teman serumah ini. Namun, perlulah sebuah ketegasan dalam menindaklanjuti hal ini.
“Nanti aku peringatkan dia”
“Cuma itu yang bisa kau ucap, No? dia harus dihukum! Dia harus dihukum!”, ujarku dengan nada yang semakin keras sambil memukul dinding. Kesal. Aku kalap.
“Har, kalau kamu bersikap kasar begitu justru akan menimbulkan konflik yang baru nanti”
“Keluarkan saja dia dari rumah ini!”
“Har…”
“Sudah berapa kali dia tak menurutimu, membangkangi perintahmu. Lebih baik keluarkan dia!”
“Har, cukup”
“Atau aku yang keluar!”
Setelah pukulan terakhirku ketembok, aku pergi menuju kamarku. Benar-benar kesal. Aku tahu ini hanyalah masalah sepele. Namun bagiku, ini adalah perjuangan hak asasi. Gara-gara dia penghuni rumah kami kelaparan. Dia tidak konsisten. Dia bukan laki-laki. Awas nanti kalau ketemu, akan kesemprot dia.

***


“Gue ada urusan, Har. Tentang skripsi, skripsi”
“Eh anak kota, alasan melulu kau! Kalau tak mau menuruti aturan rumah ini keluar saja! Ini masalah hak, Roy! Hak manusia! Kita kelaparan! Terpaksa harus orang lain yang buat masakan, yang cuci piring. Kemana saja kau? Skripsi-skripsi melulu. Semoga gagal tu skripsimu!”
“Eh, jangan bilang gitu dong”

“Urusanmu!”
“Baik kalo itu mau lu, gue keluar. Malam ini juga gue keluar. Asal loe tau, gue benar-benar sibuk bulan-bulan ini. Lo liat sendiri gue harus mondar-mandir bolak-balik ke kampus buat urus skripsi ini. Lo enak belum ngrasain gimana nyiapin skripsi. Ah, bodo amat lah. Gue keluar, Har”

***


Kekerasan bukanlah sikap yang baik. Aku tahu itu. Aku selalu takut jika sifat ini muncul. Roy akhirnya keluar malam itu. Entah apa yang ada dipikiranku, sebenarnya aku sendirilah yang mengajak Roy untuk bergabung dalam rumah kami. Mungkin alasannya berhak dimaklumi. Aku terlalu berprasangka buruk pada banyak orang.
“Kau tahu, Roy sebenarnya anak yang baik, Har. Kalau bersama kita aku yakin dia bisa belajar sedikit-demi sedikit rasa tanggung jawab. Kau tahu kan dia baru bergabung dengan kita di tahun akhirnya. Sebelumnya kau tahu sendiri, dia tinggal sendirian di kost. Sendirian berarti rawan akan pengaruh buruk. Dengan adanya kebersamaan di rumah ini, kita bisa saling menjaga satu sama lain”
Aku membisu mendengarkan penjelasan Seno. Aku sendiri yang sudah lama tinggal di rumah ini, masih saja belum bisa meredam emosiku. Padahal jika diingat sudah banyak sekali hal yang kupelajari dari teman-teman disini, saat kita saling berbagi ilmu mengenai agama yang hakiki ini. Berkumpul bersama penghuni rumah yang lain. Dengan keluarnya Roy, entah apa yang mungkin terjadi dengannya nanti. Aku melihati awan malam yang semakin kelam.
“Kau sebenarnya tahu kan bahwa yang kau perbuat itu salah?”
“Ya, begitulah, No. Aku baru saja merasa menyesal”
“Ya sudahlah, apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur. Kita perbaiki yang masih bisa kita perbaiki. Tak perlu lagi memandang kebelakang”

***


Yah, mungkin ilustrasiku tadi, tak terlalu mengena namun kuharap kau paham apa yang ingin kusampaikan, kawan. Jika kita ingin mengajarkan suatu kebaikan jangan seperti melemparkan sebuah berlian ke kepala seseorang. Kita bermaksud untuk memberikan berlian yang berharga tersebut, namun karena cara kita salah, orang tersebut akan marah dan tak mengabaikan berlian yang kita lemparkan tersebut. Tapi aku tahu, seperti kataku di awal kawan, manusia itu cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri. Itulah kendala yang aku sendiri sedang hadapi dalam menasehati sesama. Ditambah lagi dengan kekurangan dalam diri ini. Memang sepantasnya kita harus sering-sering bercermin, memperbaiki diri supaya dapat memberi contoh pada manusia hal yang baik. Bukan bermaksud ria, namun untuk berbagi kebaikan. Kesabaran, lemah lembut dan kasih sayang itu perlu dalam menasehati seseorang. Kesabaran, lemah lembut dan kasih sayang itu tak bisa didapatkan kecuali dengan usaha. Ya, usaha.


***


(Epilogue)
Beberapa minggu kemudian
Tiing~….Tong~…. Suara bel dari rumah berbunyi. Malam itu aku dan penghuni rumah lain sedang tilawatil Qur’an di ruang tamu.
“Har, kau buka coba pintu rumah tu. Ada tamu penting kali”, bisik Ranto.
Kebetulan memang posisiku lah yang paling dekat dengan pintu. Kuberi pembatas pada Al Qur’anku dan segera menuju pintu untuk menyambut sang tamu. Alangkah terkejutnya aku, tamu tersebut adalah Roy!
“Har, gue minta maaf”, sesal Roy. Tanpa basa-basi aku menyalami erat tangannya dan memeluknya.
“Aku yang harus minta maaf, Har. Aku.”
Jika dipikir buat apa kita bermusuhan. Aku dan Roy adalah teman sejak SMP. Aku mengenalnya baik. Dia memang anak gaul namun sebenarnya sopan. Sering dia menanyaiku tentang soal-soal agama bahkan dia pernah bertanya mengapa kita harus sholat. Jangan salah dia bukan mualaf, dia keturunan muslim murni. Hanya saja orang tuanya terlalu sibuk dengan dunia dan sering mengabaikan anak tunggalnya tersebut.
“Gue semenjak itu kepikiran mulu, Har. Rumah ini emang beda sama tempat yang lain”
Aku justru malu telah secara kasar mengusir Roy dari sini. Bukankah aku telah mempelajari tentang agama ini? Bukankah seharusnya watakku bisa mencerminkan kelembutan dan kasih sayang yang diajarkan agama ini?
“Gue masih ditrima kan disini?”
Aku tak memedulikan yang diucapkannya. Tanpa kata-kata kutarik koper Roy masuk ke dalam rumah. Kupalingkan muka darinya. Aku benar-benar malu. Ya malu pada Roy. Malu karena menunjukkan sikap yang tak pantas untuk dijadikan contoh. Ah, seharusnya aku lebih malu pada-Nya, bukan? 


*********SELESAI***********

Read More......

Rabu, 08 Januari 2014

Rafflesia Arnoldii, Sebuah Anugerah di Bumi Pertiwi

Sebagai orang Indonesia asli, sudah seharusnya kita tahu nama spesies bunga yang eksentrik tersebut, bunga unik yang menyebarkan bau busuk hingga disebut bunga bangkai, bunga yang memperkenalkan nama Indonesia hingga ke seantero dunia. (Sebenarnya Indonesia bukan pemilik tunggal bunga ini. Negri Jiran seperti Malaysia, Thailand dan Philipine juga merupakan habitat asli bagi bunga endemik ini. Namun, tak apa, tetap saja bersyukur). Mungkin yang akan terpintas dipikiran kita adalah pulau Sumatra khusunya kota Bengkulu. Tempat dimana Sir Thomas Raffles dan rekannya Arnoldii menemukan spesies tersebut (sebenarnya sejarah mencatat yang menemukan adalah seorang abdi mereka, orang Melayu. Namun inilah yang disahihkan (dibenarkan) dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah menengah).

Karena rasa cinta tanah air dan mengingat betapa uniknya bunga tersebut, aku menjadikan bunga ini sebagai topik yang telah kupresentasikan pada suatu mata kuliah di universitasku ini, Biology of Seeded Plant, atau bahasa kita biologi tumbuhan berbiji. Alhamdulillah dosenku yang seorang profesor botany ini tak banyak berkomentar, karena beliau juga belum pernah meneliti bunga ini. Jadi alangkah baiknya jika aku membagikan slides presentasi pada kalian. Ya hanya untuk berbagi, untuk menambah pengetahuan di antara kita saja.

Silakan di download jika berkenan klik disini

Video saat rafflesia mekar . Beserta sumbernya(karena aku edit)


Read More......

The Final Exams Week

Hehehe...#truestory
Seorang pelajar di suatu intansi pendidikan formal, pasti mengalami yang namanya ujian, bukan? Berarti kebanyakan umat manusia pernah merasakan kondisi dimana ia berada dalam masa-masa ujian? Aku penasaran kawan, apa sih yang kalian rasakan? Takutkah? Gugupkah? Cemaskah? atau sebaliknya? yah, memang yang diharapkan dalam ujian adalah lulus dari ujian tersebut. Tak puas hanya lulus saja, nilai yang sesuai dengan keinginan pun harus dikantongi. Apakah kau juga berpikir sepertiku? Jika tidak, sudahkah kawan merealisasikan pemikiran hebat tersebut? Jika sudah aku ucapkan selamat bagi kalian.

Sebagian orang tahu mungkin dari buku atau motivator-motivator ulung bahwa nilai akhir bukanlah hal yang terpenting. Yang terpenting adalah kepuasan setelah berusaha keras. Seharusnya apapun hasilnya itulah yang harus kita syukuri dan usahakan lagi jika masih ada kekurangan. Yah, seharusnya penitikberatannya ada pada usaha kita. Tapi praktiknya, selalu ada pemikiran sesat yang sering membuat kita hanya mementingkan hasil akhir. Apakah kawan juga merasa demikian?

Aku sering merasakannya, aku tahu usaha itu penting, namun setelah melihat hasil-hasil ujian tengah semester lalu, aku merasa kurang puas dengan nilai itu. Menyesal akan jawaban yang kutulis, sedangkan usahaku sendiri dalam mempersiapkannya aku lupakan. Menyedihkan bukan? Seharusnya aku tetap tersenyum dan berusaha lagi untuk ujian-ujian berikutnya. Setiap pelajar pasti pernah melakukan kesalahan. Mengharap nilai sempurna terus sampai akhir adalah hal yang amat susah namun ada orang genius yang bisa. Mereka adalah pengecualian. Jika manusia biasa adalah Homo sapiens, mereka seharusnya digolongkan pada spesies baru manusia langka. Banyak faktor yang menentukan. Tak hanya dari pribadi namun juga faktor luar, seperti kondisi sekitar, guru/dosen, dsb. Benar bukan?

Daripada menyesali nilai yang sudah keluar, lebih baik kita merenungkan kembali apa yang kurang dari usaha kita. Dari situ kita dapat mengambil banyak hal untuk perbaikan kedepan. Sungguh beruntung orang yang tangguh, yaitu orang yang mampu bangkit setelah mengalami kegagalan, dengan beberapa perbaikan baru tentunya.

Di paragraf terakhir ini, aku hanya ingin mengucapkan selamat berjuang bagi teman-teman yang sedang menempuh ujian akhir. Bagi yang telah usai, selamat menunggu dan bertawakkalah kepada-Nya. Yang terbaik adalah pilihan-Nya, bukan? Dan yang mungkin telah liburan, semoga menemukan kesibukan yang bermanfaat di masa liburan. Bagi yang masih galau memikirkan si doi, segeralah menikah. :P

~Salam hangat di pagi hari dari bumi Usmani~


Read More......

Yang Banyak Terlewatkan...

Sudah lama sekali aku tidak menulis. Kalian bisa melihat sendiri dari tanggal postingan terakhirku dimuat. Isinya pun hanya memberitahukan bahwa aku sengaja berhenti menulis dengan alasan memperbaiki hati. Lalu apakah hatiku sekarang sudah baik? Atau minimal lebih baik daripada sebelumnya? Entah, aku sendiri bingung. Apa yang bisa menjadi ukuran telah baik atau tidaknya hatiku? Dengan berpikir demikian, aku sadar sendiri bahwa belum ada perubahan yang signifikan dalam diriku. Masih seperti dulu.

Apakah kalian berpikir waktu berjalan cepat? Hampir semua orang merasakan demikian. Sudah tahun 1435 hijriah dan 2014 untuk kalender masehi. Mengingat bahwa malam sebelum tahun baru masehi yang lalu, aku yakin seyakin-yakinnya hampir di seluruh negri merayakannya, mesti tak semua. Jika tahun hijriah dalam islam disyariatkan untuk dirayakan pun, orang-orang yang benar paham agama ini bukan merasa suka cita, namun sebaliknya merayakan dengan haru biru. Betapa banyak waktu yang terlalaikan. Namun. mengingat ajaran islam yang menganjurkan umatnya selalu muhasabah diri, tak perlu pula diadakan perayaan tersebut. Benar bukan?

Aku salah satu diantara jutaan orang yang pasti menyesal telah meninggalkan banyak hal. Coba kita renungkan lagi, apa yang telah kita tinggalkan dan kita menyesal telah meninggalkannya?

(Aku yakin yang berakal sehat pasti pernah menyesal. Maka ceritaku ini berlaku untuk kalian. Bagi yang tak terlalu peduli dengan kehidupannya, terserah kalian aku tak memaksa. Aku hanya ingin membuat diriku merenung lewat tulisan ini. Alangkah senangnya, jika kalian pun merenung bersamaku. Menemaniku)
Hal-hal seperti waktu-waktu luang, waktu-waktu sehat, waktu masih bisa bersama dengan keluarga, sahabat-sahabat, dan orang-orang yang kita cintai misalnya. Dari sanapun kita bisa menyesali betapa banyak hal yang tidak kita lakukan terhadap mereka. Mungkin rasa sesal tersebut akan datang disaat tertentu. Seorang mahasiswa menyesal tak bisa mengerjakan ujian akhirnya dengan maksimal, kemudian dia akan menyesal betapa banyak sebenarnya waktu yang bisa dipakai untuk mempersiapkan diri. Seorang yang sedang sakit, struk misalnya, dan terbaring di rumah sakit, menyesal tak bisa melakukan hal-hal yang dia inginkan. Buang air pun susah. Tersiksa. Seorang yang telah merantau jauh menyesal diperantauannya saat mengingat kembali betapa dia sering membuat orang tuanya sedih, membuat saudara-saudaranya kesal, dan banyak momen-momen istimewa bersama keluarga yang pada saat itu dia tak terlalu peduli, tak berhasrat untuk menikmati, pada saat berkumpul bersama misalnya. Yang dipedulikan saat itu adalah urusannya sendiri. Seorang yang bersahabat betapa menyesali persahabatan yang telah lama terbangun runtuh karena hal sepele, atau tak memanfaatkan kesempatan untuk berteman karena keegoisannya sendiri. Aku yakin setiap orang punya cerita.

Itulah yang aku alami sekarang, kawan. Namun jika aku tak berbuat apapun, penyesalan ini akan bertambah, berkembang biak. Jadi, aku tak ingin berpanjang lebar dalam postingan pertama setelah lama memalingkan muka dari blog ini. Entahlah apa yang akan kuisi nanti, kuharap bisa bermanfaat terutama untuk kalian, kawan. Betapa indah berbagi, bukan? Aku sebenarnya punya banyak hal yang ingin kuceritakan kepada kalian. Tak jadi kuungkapkan karena takut kalian tertawakan, kalian abaikan, kalian pandang aneh, kalian pandang aku tukang pamer, juga karena faktor dalam diri seperti rasa malas, dsb. Ah, aku terlalu banyak berprasangka buruk kepada kalian, kawan. Maafkan aku. Sebaiknya aku perbaiki niatku untuk menulis. Seharusnya hanya untuk berbagi ilmu, ya berbagi. Dengan ini kita bisa saling mengingatkan. Agar diantara kita tak ada yang penyesalan setelah jiwa ini terpisah dari raga. Yah, waktu dimana kita berpisah dari dunia fana dan berjumpa dengan-Nya. Semoga kita tak menyesal. Aamiin.

~Salam dari ranah perantauan di bumi Usmani~

Read More......