Senin, 13 Agustus 2012

Fa Ainallah? (Lalu, dimana Allah?)

Apa sih arti sebuah kejujuran? Bukankah jujur itu mengatakan apa adanya, tanpa ditambahi bumbu-bumbu penyedap lainnya? Bukankah jujur itu tidak menyembunyikan sesuatu pun kenyataan yang ada? Oh iya, jujur kan sifat Nabi, bukan? Hmmm..namun, apakah dalam praktik dalam keseharian ini, kita sudah menerapkan kejujuran?

"Hayoo, puasa lho...gak boleh bo'ong. Kalo bo'ong puasanya batal?"

Mungkin kalimat diatas sering dilontarkan sebagai gurauan kita kepada teman kita. Tapi bohong kan tidak membatalkan puasa, hanya merusak pahalanya. Yang jadi titik berat bukan disitu. Dari obrolan ringan itu pun kita tahu bahwa bohong itu tidak baik.

Susah gak sih menghadirkan sifat jujur dalam diri kita? Nah, waktu ulangan, dimana mensontek adalah budaya khas pelajar mulai dari kalangan SD sampe SMA, perkuliahan juga gak ya? Padahal, saat ujian itulah kejujuran kita diuji. Kalau dilihat dari sisi positifnya, selain membuat kita (walaupun terpaksa) belajar, ulangan melatih mentalitas kita terutama dalam kejujuran. Pasti yang belum siap hadapi ujian akan gemetar, panas dingin, meriang, perut mulas, mual-mual, bibir pecah-pecah (Elhoh?). Dan jalan pintas yang akan ditempuh adalah... Yap, benar! Mensontek! Hadehh, itulah awal dari bibit-bibit penyakit yang lebih ekstremmm,,,

Apakah itu??? Yaitu korupsi! Liat ntuh acara televisi. Sebagian wakil-wakil kita pada korupsi. Kerugiannya bukan ditanggung mereka saja namun kita, sebagai rakyat juga turut menanggungnya. Nah, lho..meski hukuman di dunia ringan, tapi mereka punya tanggun jawab yang besar di akhirat. Karena tidak jujur dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Kalo sejak dini udah bermental koruptor, pantas saja bangsa ini tak maju-maju.

Coba kita renungi lagi kisah-kisah teladan zaman dulu. Yang tentunya banyak hikmah di dalamnya. Kisah ini diceritakan oleh ustadz yang ceramah habis sholat isya di masjid langgananku. Mari kita simak. Bismillah...

Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin Umar bin Khattab dari Madinah menuju Makkah. Suasana padang pasir itu sangat panas dan terik. Nah, di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.

Ibnu Umar : “Hai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing saja dari ternakmu itu!”
Penggembala : “Aku hanya seorang budak, Tuan. Jika ingin membelinya, datanglah ke majikanku.”
Ibnu Umar :“Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?”
Penggembala :“Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya. Bahkan jika Tuan beli sepuluh ekor pun, majikanku tidak akan tahu.”
Ibnu Umar :“Lalu, kalau begitu juallah kambing itu padaku! Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah! Ambillah saja, sekedar untuk membeli baju atau roti.”

Meski terus menerus Khalifah Umar membujuk dan memaksa, anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar. Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, dengan raut muka yang serius lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar...

Penggembala : “Jika Tuan menyuruh saya berbohong, Fa ainallah? Fa ainallah? Fa ainallah?(Lalu di mana Allah?). Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti mengetahui siapa yang berdusta?”

Kita tahu bahwa, Umar bin Khattab adalah seorang khalifah, seorang pemimpin. Dia adalah seorang pemimpin umat yang sangat berwibawa lagi ditakuti, dan tak pernah gentar menghadapi musuh. Akan tetapi, saat menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian-persendian tulangnya terasa lemah, kemudian beliau menangis. Menangis mendengar kalimat tauhid itu, yang mengingatkan pada keagungan Allah, dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.

Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, kemudian ditebusnya, dan beliau berkata, ''Dengan kalimat tersebut (Fa ainallah?) telah kumerdekakan kamu dari perbudakan itu dan dengan kalimat itu pula insya Allah kamu akan merdeka di akhirat kelak.'' Peristiwa di atas jelas merupakan cermin jiwa yang ihsan, terpuji, serta gambaran iman yang melahirkan sifat jujur dan amanah.

Bagaimana sobat blogwalker??? Hebat banget bukan si penggembala tadi? Itu hanya sekelumit kisah dari sekian banyak kisah yang mencontohkan kejujuran. Semoga kita bisa mengambil hikmah darinya. Yaitu terus menumbuhkan sifat kejujuran dan amanah dalam diri kita masing-masing. Karena tiap perbuatan kita kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Jadi, ada yang masih mau nyontek?? Hehe...

Allah selalu ada, dimana pun kita berada...

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'arsy. Dia Maha Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (al-Hadiid: 4)


2 komentar: