Jumat, 10 Januari 2014

Nasehat Itu Selayaknya Indah

Dalam kehidupan ini, kita akan menemui banyak orang dengan berbagai macam sifat dan watak. Aku yakin diantara orang yang kawan temui pasti unik, memiliki kepribadian masing-masing. Maka dari itu sikap manusia cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri. Patutlah kita pribadi belajar untuk meredam perasaan itu.
Aku selalu sibuk mengurus dan memikirkan sikap orang lain. Memikirkan kadang betapa kurang baiknya mereka. Aku ingin mereka menjadi apa yang kuinginkan. Sempurna. Tanpa cacat. Sesuai kemuauanku. Tapi itu mustahil bukan? Seperti yang telah kusebutkan di atas tadi, manusia itu cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri.


***

Aku tak habis pikir, mengapa ia tega melakukannya. Tugas piket rumah kali ini seharusnya dia yang melakukan. Seisi rumah lagi-lagi kelaparan dibuatnya. Sialan, lagi-lagi dia kabur. Aku benar-benar kesal kali ini. Sudah berkali-kali dia melakukan perbuatan ini. Tak bisa dibiarkan. Aku ingat janji-janjinya tadi sore.
“Hari ini gue mau bikin skripsi, jam 5 ntar habis pulang gue masak deh”
“Kau yakin? Sempe jam berapa?”
“2 jam an lah”
Malamnya dia langsung pergi, entah kemana. Terpaksa aku lagilah yang menggantikannya memasak, juga mencuci piring-piring.
“Yah mau bagaimana lagi, Her. Nanti kalau datang aku kasih tau dia”
“Begitu terus yang kau katakan! Lembek kali lah kau! Kau kan ketua rumah disini! Tak becus pula.. Ah…”, aku menghentikan ucapanku. Tak tega aku membentaki Seno.
Seno tak membalas. Dia ketua rumah kami. Dia berwatak sabar, bijak dan adil. Dia selalu berkata lembut dalam menasehati kita teman serumah ini. Namun, perlulah sebuah ketegasan dalam menindaklanjuti hal ini.
“Nanti aku peringatkan dia”
“Cuma itu yang bisa kau ucap, No? dia harus dihukum! Dia harus dihukum!”, ujarku dengan nada yang semakin keras sambil memukul dinding. Kesal. Aku kalap.
“Har, kalau kamu bersikap kasar begitu justru akan menimbulkan konflik yang baru nanti”
“Keluarkan saja dia dari rumah ini!”
“Har…”
“Sudah berapa kali dia tak menurutimu, membangkangi perintahmu. Lebih baik keluarkan dia!”
“Har, cukup”
“Atau aku yang keluar!”
Setelah pukulan terakhirku ketembok, aku pergi menuju kamarku. Benar-benar kesal. Aku tahu ini hanyalah masalah sepele. Namun bagiku, ini adalah perjuangan hak asasi. Gara-gara dia penghuni rumah kami kelaparan. Dia tidak konsisten. Dia bukan laki-laki. Awas nanti kalau ketemu, akan kesemprot dia.

***


“Gue ada urusan, Har. Tentang skripsi, skripsi”
“Eh anak kota, alasan melulu kau! Kalau tak mau menuruti aturan rumah ini keluar saja! Ini masalah hak, Roy! Hak manusia! Kita kelaparan! Terpaksa harus orang lain yang buat masakan, yang cuci piring. Kemana saja kau? Skripsi-skripsi melulu. Semoga gagal tu skripsimu!”
“Eh, jangan bilang gitu dong”

“Urusanmu!”
“Baik kalo itu mau lu, gue keluar. Malam ini juga gue keluar. Asal loe tau, gue benar-benar sibuk bulan-bulan ini. Lo liat sendiri gue harus mondar-mandir bolak-balik ke kampus buat urus skripsi ini. Lo enak belum ngrasain gimana nyiapin skripsi. Ah, bodo amat lah. Gue keluar, Har”

***


Kekerasan bukanlah sikap yang baik. Aku tahu itu. Aku selalu takut jika sifat ini muncul. Roy akhirnya keluar malam itu. Entah apa yang ada dipikiranku, sebenarnya aku sendirilah yang mengajak Roy untuk bergabung dalam rumah kami. Mungkin alasannya berhak dimaklumi. Aku terlalu berprasangka buruk pada banyak orang.
“Kau tahu, Roy sebenarnya anak yang baik, Har. Kalau bersama kita aku yakin dia bisa belajar sedikit-demi sedikit rasa tanggung jawab. Kau tahu kan dia baru bergabung dengan kita di tahun akhirnya. Sebelumnya kau tahu sendiri, dia tinggal sendirian di kost. Sendirian berarti rawan akan pengaruh buruk. Dengan adanya kebersamaan di rumah ini, kita bisa saling menjaga satu sama lain”
Aku membisu mendengarkan penjelasan Seno. Aku sendiri yang sudah lama tinggal di rumah ini, masih saja belum bisa meredam emosiku. Padahal jika diingat sudah banyak sekali hal yang kupelajari dari teman-teman disini, saat kita saling berbagi ilmu mengenai agama yang hakiki ini. Berkumpul bersama penghuni rumah yang lain. Dengan keluarnya Roy, entah apa yang mungkin terjadi dengannya nanti. Aku melihati awan malam yang semakin kelam.
“Kau sebenarnya tahu kan bahwa yang kau perbuat itu salah?”
“Ya, begitulah, No. Aku baru saja merasa menyesal”
“Ya sudahlah, apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur. Kita perbaiki yang masih bisa kita perbaiki. Tak perlu lagi memandang kebelakang”

***


Yah, mungkin ilustrasiku tadi, tak terlalu mengena namun kuharap kau paham apa yang ingin kusampaikan, kawan. Jika kita ingin mengajarkan suatu kebaikan jangan seperti melemparkan sebuah berlian ke kepala seseorang. Kita bermaksud untuk memberikan berlian yang berharga tersebut, namun karena cara kita salah, orang tersebut akan marah dan tak mengabaikan berlian yang kita lemparkan tersebut. Tapi aku tahu, seperti kataku di awal kawan, manusia itu cenderung keras kepala, egois dan mau benar sendiri. Itulah kendala yang aku sendiri sedang hadapi dalam menasehati sesama. Ditambah lagi dengan kekurangan dalam diri ini. Memang sepantasnya kita harus sering-sering bercermin, memperbaiki diri supaya dapat memberi contoh pada manusia hal yang baik. Bukan bermaksud ria, namun untuk berbagi kebaikan. Kesabaran, lemah lembut dan kasih sayang itu perlu dalam menasehati seseorang. Kesabaran, lemah lembut dan kasih sayang itu tak bisa didapatkan kecuali dengan usaha. Ya, usaha.


***


(Epilogue)
Beberapa minggu kemudian
Tiing~….Tong~…. Suara bel dari rumah berbunyi. Malam itu aku dan penghuni rumah lain sedang tilawatil Qur’an di ruang tamu.
“Har, kau buka coba pintu rumah tu. Ada tamu penting kali”, bisik Ranto.
Kebetulan memang posisiku lah yang paling dekat dengan pintu. Kuberi pembatas pada Al Qur’anku dan segera menuju pintu untuk menyambut sang tamu. Alangkah terkejutnya aku, tamu tersebut adalah Roy!
“Har, gue minta maaf”, sesal Roy. Tanpa basa-basi aku menyalami erat tangannya dan memeluknya.
“Aku yang harus minta maaf, Har. Aku.”
Jika dipikir buat apa kita bermusuhan. Aku dan Roy adalah teman sejak SMP. Aku mengenalnya baik. Dia memang anak gaul namun sebenarnya sopan. Sering dia menanyaiku tentang soal-soal agama bahkan dia pernah bertanya mengapa kita harus sholat. Jangan salah dia bukan mualaf, dia keturunan muslim murni. Hanya saja orang tuanya terlalu sibuk dengan dunia dan sering mengabaikan anak tunggalnya tersebut.
“Gue semenjak itu kepikiran mulu, Har. Rumah ini emang beda sama tempat yang lain”
Aku justru malu telah secara kasar mengusir Roy dari sini. Bukankah aku telah mempelajari tentang agama ini? Bukankah seharusnya watakku bisa mencerminkan kelembutan dan kasih sayang yang diajarkan agama ini?
“Gue masih ditrima kan disini?”
Aku tak memedulikan yang diucapkannya. Tanpa kata-kata kutarik koper Roy masuk ke dalam rumah. Kupalingkan muka darinya. Aku benar-benar malu. Ya malu pada Roy. Malu karena menunjukkan sikap yang tak pantas untuk dijadikan contoh. Ah, seharusnya aku lebih malu pada-Nya, bukan? 


*********SELESAI***********

0 comments:

Posting Komentar