Ini adalah cerpen karya adikku yang telah aku edit di beberapa tempat. Semoga ceritanya bisa memotivasi kita betapa pentingya semangat untuk meraih impian. Karena kesempatan bisa datang kapan saja. Berutunglah bagi orang yang siap, siap menghadapi kesempatannya tersebut dengan usaha yang terbaik. Silakan menyimak. :)
Bel tanda akhir sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Ah, banyak dari mereka yang tak menikmati yang namanya menuntut ilmu. Ditambah lagi esok adalah hari minggu. Hari dimana melepaskan penat setelah seminggu belajar di kelas. Mereka seharusnya memanfaatkan kesempatan emas untuk berkarya di SMP ini sebelum mereka duduk di semester akhir kelas 9 seperti diriku. Dimana beberapa bulan lagi masa menuntut ilmuku di SMP ini akan berakhir.
Aku pun segera berkemas untuk pulang. Seperti biasa setiap pulang sekolah aku selalu sempatkan untuk mengunjungi rak itu. Rak yang membuatku selalu mengingat kembali pada masa itu, masa yang memberikan pencerahan bagi diriku bak matahari yang terbit setelah hujan reda. Melahirkan pelangi yang indah menawan. Aku berusaha mengingat-ingat lagi lebih jauh pada masa itu. Senyum tersimpul dari bibirku.
Pagi ini, langit tampak mendung. Rintik hujan mulai turun, perlahan, sunyi tanpa suara, mendarat di atas kaca jendela perpustakaan, tepat dihadapanku. Di saat yang sama hatikupun sedang demikian. Mendung, aku gelisah. Aku memandangi parkiran sepeda dari jendela sambil menopangkan dagu di atas tangan. Aku masih mengharap secarik piagam di genggamanku. Satu saja pun tak masalah bagiku. Ya, satu saja. Guruku sering mengikutsertakan aku dalam lomba sains. Namun, dari sekian lomba yang aku ikuti, belum ada penghargaan yang dapat kuraih. Impian itu kian menjadi sebuah angan yang tak terwujud. Hanya menambah koleksi impian-impian lainku yang tak pula kunjung terwujud. Ah, sedihnya.
Jam pelajaran terakhir kosong, namun kami tak diizinkan pulang oleh guru piket sebelum bel tanda pulang berbunyi. Sebagian temanku ada yang tetap menunggu di kelas, sebagian lainnya di kantin dan sisanya menunggu di perpustakaan, termasuk diriku. Perpustakaan adalah tempat favoritku. Namun entah mengapa, kali ini suasana di perpustakaan nampak suram bagiku. Pasti karena gundah dalam hatiku ini. Jadi aku putuskan keluar. Mungkin dengan mengambil sedikit udara segar aku akan baikan.
Aku menyukai suasana hujan. Suara benturan halus bulir hujan yang menghujam daratan, membentuk sebuah simponi suara yang menenangkan dan mendamaikan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, bau tanah basah ini memang menyegarkan. Lagi-lagi aku memohon hujan untuk menghiburku.
Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian akhir semester atau UAS. Aku sudah tak begitu bersemangat menghadapi UAS seperti dulu. Kuakui aku merasa kecewa pada diriku sendiri. “Ah, apa yang bisa kubanggakan dari dariku”, ujarku dalam hati. Aku merasa sudah berusaha sangat keras dan selalu berdoa agar aku mendapat kesempatan itu. Namun hal itu tak kunjung membuahkan hasil.
“Semua ini adalah yang terbaik dari Allah untukku. Cheer up, it’s okay! It’s not the end of everything,” ujarku pada diriku sendiri. Aku kembali terdiam, air mata ini tiba-tiba saja membasahi pipi. Hujan semakin deras.
“Krrriiiiiiiiiinnng..,” suara bel tanda sekolah usai membuyarkan lamunanku. Aku teringat hari ini akan ada pendalaman materi atau biasa kami sebut PM untuk pertama kalinya. PM adalah program khusus dimana kami akan belajar lebih intensif untuk menghadapi UAS. Kami pun bergegas turun dari kelas menuju lab biologi, tempat PM kami. Aku dan teman-temanku pun bersenda gurau di depan lab biologi sembari menunggu guru PM yang datang.
“Nafis.. Rizky.. Fai..” dalam gemuruh hujan, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku pun menoleh ke arah koridor di sisi kiriku dan ternyata dia adalah guru biologiku, Pak Syauqi. Entah mengapa perasaanku mulai tak enak, seperti ada sesuatu yang mengusik saat itu. Aku pun sempat berpikir yang tidak-tidak, seperti kesalahan yang pernah kulakukan dulu terhadap beliau. Lalu, kami pun menghampiri pak Syauqi.
“Ada apa ni Pak, kok kita dipanggil. Hehe…?” tanya Fai cengengesan.
“Bapak dapat undangan dari dinas untuk lomba Karya Ilmiah Remaja. Kalian ikut ya. 1 kelompok 5 orang” , kata pak Syauqi.
“Hah? Lomba apa pak?” tanyaku.
“Kalian tinggal siapkan karya tulis aja. Idenya kalian yang tentukan.”
Tentu saja aku terkejut mendengarnya. Ditambah lagi hal itu diajukan untuk suatu ajang perlombaan yang artinya kami akan mewakili sekolah kami. Tiba-tiba jantungku berdegup lebih kencang. Entah apa yang seharusnya kurasakan. Apakah bahagia? Senang? Terkejut? Atau rasa takut akan kegagalan yang akan terulang seperti dulu?
Kami hanya bertiga. Diperlukan dua orang lagi untuk ikut bergabung dalam kelompok kami. Kami pun memutuskan untuk mengajak Azkiya, salah satu teman sekelas kami. Dia juga teman baikku, sehingga aku yakin dia bisa menjadi partner yang baik dalam kelompok kami. Dan seperti yang kuduga, tanpa basa-basi, dia segera mengiyakan ajakan kami. Untuk satu anggota lagi kami ingin merekrut Acha. Dia adalah anak yang pandai. Rangkingnya di kelas selalu saja tinggi. Dia tak pernah keluar dari zona 3 besar tertinggi di kelas kami. Awalnya di susah untuk kami ajak karena dia ingin fokus ke UASnya. Dia tak begitu tertarik untuk mengikuti KIR di saat ini. Namun, setelah lama kami bujuk, dia pun akhirnya mengiyakan. Nampak semakin lengkaplah regu kami. Lalu, kami putuskan untuk berdiskusi di rumah Rizky seusai PM ini. Mendung di hatiku mulai sirna. Aku merasa ada secercah harapan untuk kesempatan ini. Hujan di luarpun mereda. Nampak matahari mulai cerah setelah disembunyikan awan.
Aku memandangi halaman luar rumah Rizky yang luas dari jendela. Kami berusaha mencari ide untuk KIR kami. 20 menitpun berlalu tanpa suara kecuali dengan bergumam saja. Tiba-tiba mataku tertuju pada tempat sampah yang berada di ujung kamar. Aku mengamati tempat sampah tersebut. Apa yang bisa aku ciptakan dengan tempat sampah itu. Suatu ide pun muncul dalam pikiranku.
“Eh-eh, gimana kalo kita bikin tempat sampah?” usulku disambut dengan wajah-wajah heran teman-temanku.
“Ha? Tempat sampah? Maksud loe?” tanya Fai. Dahinya berkerut.
“Idih, masak bikin tempat sampah sih. Kan dah banyak, Fis”, ujar Acha.
“Iya, aku tau Cha, kita bakal buat tempat sampah yang beda. Tempat sampah otomatis. Kalo bahasa inggrisnye ye, auto trashbin!” jelasku dengan mata berbinar.
“Kedengarannya menarik tu Fis”, sahut Rizky.
“Di sekolah kita kan ada 3 jenis tempat sampah ya. Organik, anorganik, dan khusus limbah”, lanjutku.
“Iya, emang kenapa sama tempat sampah ntu?” Tanya Fai penasaran. Alisnya naik turun.
“Meski dah tersedia tempat sampah itu, tapi belum banyak anggota sekolah yang membuang sampah sesuai dengan kategorinya, kan? Jadi daripada tempat sampahnya ada 3, mending dibikin jadi 1. Jadi, tempat sampah itu ada sensor yang bisa ngedeteksi jenis sampah dan setelah terdeteksi ada suatu sistem untuk memisahkannya. Jadi gak tercampur aduk melainkan terpisah secara otomatis. Paham kagak ni?”, jelasku lagi.
“Wah boleh juga tuh idemu. Yuk segera kita kembangkan!” dukung Azkiya.
“Gue juga setuju tu. Hehe”, ucap Fai sambil memamerkan giginya yang gingsul.
Esoknya kami diskusikan hal ini bersama Pak Syauqi. Ide ini terdengar sederhana, namun kenyataannya tak sesederhana yang kami pikirkan. Karena kesulitan tersebut teman-teman kami nampak pesimis. Akupun menyimpan ide tersebut, berharap menemukan sesuatu yang lebih baik untuk dijadikan karya tulis.
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa kami sudah duduk di semester 1 kelas 9. Tim kami tak kunjung menemukan ide yang cocok untuk dijadikan karya tulis. Yah, kami akui kesalahan ada pada tim kami. Karena kesibukan masing-masing selama liburan kenaikan kelas, karya ilmiah kami terbengkalai.
Pak Syauqi sudah tidak mengajar di kelasku lagi. Saat aku bertemu di awal semester ini beliau hanya tersenyum halus dan bertanya tentang kabarku dan teman-teman. Ya, beliau tak pernah memaksa kami untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Aku tahu beliau tidak pernah memaksa murid-muridnya, hanya menyarankan yang terbaik kepada murid-muridnya saja. Semua itu kembali pada si murid. Karena menurutnya memaksa murid untuk lomba dan meraih juara adalah suatu hal yang tidak baik. Namun aku tahu, di setiap senyum dan sorotan mata pak Syauqi, beliau selalu berharap agar murid-muridnya sukses di masa depan. Beliau akan terus setia menanti kabar. Kabar yang baik dari murid-muridnya.
Waktu, lagi-lagi berjalan cepat. Bahkan aku hampir tidak merasakannya. Ini adalah minggu terakhir libur Idul Fitri kami. Tiba-tiba bundaku spontan menanyakan tentang karya ilmiahku.
“Nafisa dah gak semangat bun”, ujarku lemas.
“Lhoh kok gitu sih. Ini kesempatan terakhirmu lho. Siapa tau bisa juara. Bunda dukung deh”, ujar bunda dengan penuh kasih sayang.
“Tapi projeknya Nafisa susah bun”
“Dah Nafis coba usahakan?”
“Belom”
“Kok bilang susah?”
“Sebenernya dah didiskusiin gitu sama pak Syauqi. Kata beliau bagus. Tapi setelah diskusi lagi sama temen-temen, kok kayaknya susah”, jawabku pesimis.
“Aiih, coba diusahakan lagi deh. Sesuatu kalau gak kita usahakan keras ya gak bakal berbuah yang bagus dong. Apapun hasilnya nanti, meski tak sesuai dengan yang kita inginkan, Allah pasti beri yang terbaik. Yang penting udah usaha. Bunda yakin anak bunda yang cantik ini pasti bisa”, jelas bunda dan kemudian segera memelukku.
Benar apa yang dikatakan bunda. Di malam itu juga aku segera menghubungi teman-temanku. Dengan bantuan skype aku berdiskusi dan membagi tugas dengan mereka. Walaupun aku sedang sakit, aku tetap berusaha untuk yang terbaik. Karena ini adalah kesempatan terakhir kami, kesempatan terakhirku. Malam itu Aku benar-benar berlari. Mengerahkan segala tenagaku. Ya, aku sedang berlari mengejar impian itu.
Setelah kami masuk sekolah, segera kami berdiskusi kembali dengan pak Syauqi. Seperti yang kuduga, setelah mendengar kabar dari selesainya laporan kami dia tersenyum yang bermakna, “Ini yang Bapak tunggu dari kalian”. Namun, ternyata kami masih melakukan banyak kesalahan dan perlu diperbaiki. Karena sudah deadline, kami bahkan terpaksa meminta izin untuk tidak mengikuti kelas untuk mengerjakan karya tulis ini. Pak Syauqi telah meminta izin pada setiap guru untuk kami. Ah, beliau memang selalu baik.
Akhirnya, setelah melewati beberapa revisi atau perubahan, dalam waktu 3 hari kami dapat menyelesaikan karya tulis ini. Kami segera mengumpulkannya ke pak Syauqi. Aku tahu karya tulis kami ini sederhana. Tapi kami optimis kami dapat lolos ke tahap selanjutnya. Aku terus berdoa.
Sudah 2 bulan sejak karya tulisku kami dikirim ke panitia lomba KIR. Kami belum mendengarkan kabar mengenai karya tulis kami ini. Berkali-kali kami berniat menanyakan kabar tersebut ke pak Syauqi, namun selalu saja kami urungkan niat itu. Kami sungkan untuk bertanya pada beliau. Aku pun mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Apakah ini bukan jalanku lagi? Apakah kesempatan terakhirku telah berakhir?
Hari-hariku di sekolah berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Aku berusaha untuk selalu tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. Seperti biasa, aku tetap bersenda gurau dengan teman-temanku. Berbagi tawa, canda, dan ceria bersama. Walau kenyataannya, jauh di dalam hatiku muncul rasa gelisah dan pengharapan yang amat sangat besar. Hanya aku dan Allah yang tau.
Tok..tok..tok.. terdengar seorang murid mengetuk pintu kelasku, menghentikan bu Aisyah yang sedang menjelaskan pelajaran matematika. Orang itu adalah siswi dari kelas sebelah. Dia meminta izin masuk dan mendekati bu Aisyah, lalu memberitahukan sesuatu. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan namun aku bingung kenapa mereka melirik ke arahku. Tak lama setelah siswi itu pergi. Bu Aisyah pun memanggilku.
“Nafisa, Pak Syauqi menyuruh kamu datang ke ruang guru sekarang”, kata bu Aisyah.
“Ada apa ya kira-kira bu?”, tanyaku merasa penasaran.
“Ibu juga kurang begitu tahu. Coba segera saja kamu menghadap pak Syauqi, nampaknya penting”, jawab beliau.
“Oh iya kalau begitu bu, saya mohon izin”
“Tentu, silakan”, ucap bu Aisyah sambil tersenyum ramah.
Jantungku berdebar keras. Ada apa ya, tanyaku dalam hati. Sambil berjalan menuju kantor, aku mengecek BB-ku yang aku silent selama pelajaran. Ternyata ada beberapa pesan bbm yang masuk. Salah satunya adalah dari pak Syauqi. Ya, dari pak Syauqi! Pesan tersebut berbunyi:
Nafisa & teman2 tim mohon sgr mnuju ruang guru. Penting. Ad yg ingin bpk bcrakan.
Entah ini berita baik atau berita buruk. Perasaanku campur aduk. Segera aku membalikkan diri dan melangkah kembali lagi ke kelas bu Aisyah untuk memanggil Fai dan Rizky. Bersama mereka aku menuju ke kelas lain dimana sisa tim kami berada.
“Eh-eh, ngapain pak Syauqi manggil kita ya? Jangan-jangan.......” ucap Fai dengan mata terbelalak sambil menyeringai ke arahku.
“Jangan-jangan apa?” tanya Azki.
“Omg omg omg omg guysss!!! Kayaknya gue punya firasat baik dehh”, seru Fai gembira.
“Aamiin. Gue tau apa yang ada dipikiran loe” jawabku santai.
Setelah teman-teman timku lengkap, kami berjalan menuju ruang guru. Nampak di seluruh wajah temanku, termasuk diriku, tersirat suatu kecemasan dan pengharapan akan kabar baik. Kecuali Fai. Sepanjang koridor dia lompat sana-sini menari tak karuan sambil berseru, “Yuhuuu….yuhuuu….”. Membuat kita harus menahannya berkali-kali mengingat waktu pelajaran di kelas lain masih berlangsung.
Tibalah kami di depan pintu kantor guru. Jantungku berdegup kencang. Perasaan ini bercampur aduk. Dengan tangan gemetar aku mengetuk pintu.
“Silakan masuk,” ujar seorang guru dari dalam. Aku mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu dan masuk ke dalam. Tampak olehku Pak Syauqi, Bu Widi, dan bu Heny sedang duduk di sofa panjang di ruang tengah. Pak Syauqi memberi isyarat pada kami dengan lambaian tangan untuk datang mendekati beliau. Kutengok teman-temanku, wajah mereka masih cemas kecuali wajah Fai yang merah menggelembung, tak tahan untuk meluapkan kegembiraannya. Dasar Fai, pak Syauqi saja belum bilang apa-apa. Namun, dengan melihat lucunya wajah Fai, hatiku tampak lebih lega dan rela untuk mendengarkan apapun yang akan diberitakan pak Syauqi.
“Jadi begini, tadi ada surat datang dari diknas….”
“Apa itu Pak! Apa itu Pak!” seru Fai secara spontan memotong perkataan pak Syauqi. Aku mencubit perutnya. Pak Syauqi hanya tersenyum, juga teman-teman yang lain.
“Dalam surat tersebut tertulis bahwa karya tulis kalian lolos ke tahap kedua,” lanjut pak Syauqi.
“Yeessss!!!!!” teriak Fai sambil meninjukan tangannya ke udara.
“Ya, Bapak ucapkan selamat pada kalian. Lomba tahap kedua akan berlangsung hari Kamis minggu ini di Jakarta Selatan. Di tahap ini kalian harus mempresentasikan karya tulis itu didepan juri. Jadi, bapak sarankan kalian agar segera mempersiapkan power point, miniatur, dan segala properti lain untuk mempermudah presentasi kalian. Jika ada masalah kalian bisa menemui bapak”, jelas beliau.
“Siap Pak!!!” ujar kami serempak. Segera kami berterima kasih dan mencium tangan pak Syauqi dan dua guru lainnya.
Di perjalanan kembali ke kelas, aku tak memperdulikan Fai yang sedang berjingkrak-jingkrak tak karuan gembiranya. Aku diam merenung. Meski baru lolos ke tahap kedua aku sangat bersyukur. Alhamdulillah, ucapku dalam hati sambil memejamkan mata. Meski aku tau masih banyak rintangan yang akan menghadang di depan. Tapi aku lega. Setidaknya untuk sekarang.
Lomba akan diadakan hari Kamis, artinya dua hari lagi dari sekarang. Waktu yang sangat singkat, bukan? Kami masih harus mengerjakan power point dan miniatur untuk lomba. Apakah kami dapat melakukannya dalam waktu yang singkat? Pertanyaan itu terus terngiang dalam benakku. Kami segera membagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pembuat presentasi yang terdiri dari aku dan Azki, serta pembuat miniatur Acha, Fai, dan Rizky. Kami pun memulai pekerjaan masing-masing sesuai dengan tugas kami. Lagi-lagi rumah Rizky menjadi markas kita. Hari itu kami mengerjakannya hingga larut. Bundaku menelpon berkali-kali karena khawatir.
Kami terus berusaha melengkapi karya ilmiah kami hingga sehari sebelum lomba. Setelah persiapan kami selesai, kami melakukan rehearsal atau latihan terakhir kali sebelum lomba. Bu Fatimah, guru Bahasa Indonesia kami pun turut membantu dengan mengoreksi cara bicara dan bahasa kami dalam presentasi. Oh ya, yang menjadi pembicara utama dalam karya ilmiah ini adalah aku. Aku bergumam dalam hatiku aku pasti bisa!
Kamis, 31 Oktober 2013, hari ini matahari tampak lebih cerah dari biasanya. Tak ada mendung. Aku dan teman-teman se-timku berjalan dengan pasti menuju tempat lomba. Kami tidak peduli siapa saingan kami. Kami hanya memikirkan untuk melakukan yang terbaik.
Jam tanganku menunjukkan pukul 08.45, menandakan bahwa 15 menit lagi perlombaan akan segera dimulai. Terdapat 15 kelompok dalam 1 bidang mata pelajaran. Kami berada di bidang IPS. Panitia perlombaan menyuruh perwakilan masing-masing dari setiap kelompok untuk mengambil nomor urut perlombaan. Aku pun mengambil undian mewakili kelompok kami.
Kertas undian kami pun dibuka. Ternyata kami mendapat giliran ke-6. Kami bersyukur karena kami masih memiliki banyak waktu untuk berlatih kembali dan memahami presentasi kami. Tak lupa kami tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada-Nya.
Waktu menunjukkan pukul 12. Sekarang sudah giliran ke-5. Setelah ini adalah giliran kami. Kami merasa sedikit gugup tapi kami berusaha untuk tenang dan percaya diri. Setelah menunggu sekian lama, seorang juri pun keluar dari ruang lomba. Beliau berkata bahwa lomba akan dilanjutkan setelah makan siang atau jam 1. Semakin tak tahan aku dibuat menunggu.
Pukul 13.00, akhirnya salah seorang panitia memanggil kelompok kami dengan pengeras suara. Kami serempak menarik nafas panjang dan melangkah menuju ruang penjurian. Setelah memasuki ruangan, aku melihat ada 3 juri yang aku dengar berasal dari LIPI. Aku berusaha membuang perasaan gugup yang menjangkiti diriku ini. Setelah mempersiapkan segala hal, aku maju ke depan siap untuk presentasi di hadapan mereka. Ya Allah, bantulah diriku.
“Nafisa..Nafisa..pulang yuk. Kok ngelamun aja nih?”, ujar seseorang menghentikan lamunanku. Aku menoleh dan ternyata itu suara Azkiya. Lagi-lagi aku sedang memandangi rak piala yang terpajang di dekat pintu masuk SMPku. Dari sejak sekolah usai tadi aku terus tersenyum sambil melihat ke sebuah piala yang berada di rak tersebut. Piala yang dulunya adalah sebuah impian, namun kini telah ada dihapanku. Rasa syukur kepada-Nya tak henti-hentinya aku ucapkan hingga hari ini, dimana sebentar lagi aku akan meninggalkan SMPku yang tercinta itu. Sebuah piala besar yang meninggalkan sebuah kenangan indah. Piala itu bertuliskan:
Read More......